I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui
adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan
bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Kata-kata di dalam
sebuah bahasa sering kali memiliki hubungan bentuk secara kebetulan dengan kata
lain, padahal masing-masing tidak memperlihatkan hubungan makna. Hubungan atau
relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi),
kebalikan makna (antonomi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna
(hiponimi), kelainan makna (homonimi). Dari sekian banyak hubungan bentuk dan
makna yang ada, sejumlah di antaranya memiliki kedudukan yang sentral di dalam
semantik.
Jika dihubungkan dengan makna, ternyata ada kata yang bertentangan
maknanya, hal itu dibahas pada bagian antonimi. Selain itu, ada kata yang
berhierarki yang maknanya masih saling berhubungan, hal itu dibahas pada bagian
hiponimi. Selain kenyataan-kenyataan ini, dalam hubungan makna, ada bentuk yang
sama tetapi maknanya berbeda; sementara ada kata yang bentuknya berbeda-beda
tetapi maknanya sama, dan ada juga kata yang maknanya lebih dari satu. Hal-hal
itu akan dibicarakan pada bagian yang disebut homonimi, sinonimi, dan polisemi.
Hal ini pula yang mendasari kami untuk mengangkat dalam sebuah makalah yangh
berjudul “Relasi Makna”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang makalah ini dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimanakah konsep mengenai sinonimi?
1.2.2
Bagaimanakah konsep mengenai antonimi dan oposisi?
1.2.3
Bagaimanakah konsep mengenai homonimi, homofoni, dan
homografi?
1.2.4
Bagaimanakah konsep mengenai hiponimi dan hipernimi?
1.2.5
Bagaimanakah konsep mengenai polisemi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Menjelaskan konsep mengenai sinonimi,
1.3.2
Menjelaskan konsep mengenai antonimi dan oposisi,
1.3.3
Menjelaskan konsep mengenai homonimi, homofoni, dan
homografi,
1.3.4
Menjelaskan konsep mengenai hiponimi dan hipernimi, dan
1.3.5
Menjelaskan konsep mengenai polisemi.
II.
Pembahasan
2.1 Sinonimi
Secara etimologi
kata sinonimi berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
‘nama’, dan syn yang berarti
‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi
berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat)
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang
bersinonim; mati, wafat, meninggal, dan mampus
adalah empat buah kata yang bersinonim.
Hubungan makna
antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang,
maka kata kembang juga bersinonim
dengan kata bunga. Begitu juga kalau
kata buruk bersinonim dengan kata jelek, maka kata jelek bersinonim dengan kata buruk.
Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.
|
|
||||||||
Pada definisi di
atas dikatakan ”maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang
bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja.
Kesamaannya tidak bersifat mutlak. Jadi, makna buruk dan jelek tidak
persis sama; makna kata bunga, kembang, dan puspa pun tidak persis sama. Menurut teori Verhaar yang sama tentu
adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan makna karena informasi
bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita
mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu
saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal.
Kata mati nemiliki komponen makna (1) tidak bernyawa (2) dapat
dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon). Sedangkan meninggal
memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa. (2) hanya dikenakan pada manusia.
Maka dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim
pada komponen makna (1) tidak bernyawa. Kerena itu, jelas bagi kita kalau Ali,
kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal
hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Ketidakmungkinan
kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak
sebabnya. Antara lain, karena;
(1) Faktor
waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok
untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya
cocok untuk situasi masa kini (modern).
(2) Faktor tempat atau daerah. Misalnya
kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta
hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian bahasa Indonesia timur
(Maluku); sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana
saja.
(3) Faktor Sosial. Misalnya kata aku
dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku
hanya dapat digunakan untuk teman sebaya yang tidak dapat digunakan kepada
orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
(4) Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf,
kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim.
Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan
untuk yang bukan islam; dan kata mistik untuk semua agama.
(5) Faktor nuansa makna. Misalnya
kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip
adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan
secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan
melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat
dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat
dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok
digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Penggolongan sinonimi menurut pembagian
Colliman yang dikutip Ulmann (1964: 142 143) mengikhtisarkan kemungkinan
perbedaan kata-kata bersinonim itu, sebagai berikut.
1.
Sinonim
yang salah satu anggotanya memiliki makna yang lebih umum. Misalnya, menghidangkan daripada menyediakan atau menyiapkan.
2.
Sinonim
yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif. Misalnya, jenuh daripada bosan; kejam daripada bengis;
imbalan daripada pahala.
3.
Sinonim
yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif. Misalnya, mungil daripada kecil; bersih daripada ceria;
hati kecil daripada hati nurani.
4.
Sinonim
yang salah satu anggotanya bersifat mencela atau tidak membenarkan. Misalnya, boros daripada tidak hemat; hebat daripada dahsyat.
5.
Sinonim
yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu. Misalnya, plasenta daripada ari-ari; ordonansi daripada peraturan; disiarkan daripada ditayangkan.
6.
Sinonim
yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai di dalam ragam bahasa tulisan.
Misalnya, selalu daripada senantiasa; enak daripada lezat; lalu daripada lampau; bisa daripada racun.
7.
Sinonim
yang salah satu anggotanya lebih lazim dipakai di dalam bahasa percakapan.
Misalnya, kayak daripada seperti; ketek daripada ketiak.
8.
Sinonim
yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak. Misalnya, pipis daripada berkemih; mimik daripada minum;
bobo daripada tidur; mamam daripada makan.
9.
Sinonim
yang salah satu anggotanya biasa dipakai di daerah tertentu saja. Misalnya, cabai daripada lombok; sukar daripada susah;
lepau daripada warung; katak daripada kodok; sawala daripada diskusi.
Dalam beberapa
buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau
kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain
yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga
banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.
Perhatikan contoh
berikut!
(a) Sinonim antar morfem (bebas) dengan
morfem terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya
dengan ku dalam kalimat
(1) Buku dia
Bukunya
(2)
Saya lihat
kulihat
(b) Sinonim antar kata dengan kata seperti
antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek;
antara bunga dengan puspa; antara nasib dengan takdir; antara memuaskan dengan menyenangkan.
(c) Sinoninm antara kata dengan frase atau
sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia; antara
hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang
tidak diundang.
(d) Sinonim antara frase dengan frase.
Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal
dunia dengan pulang ke rahmatullah; antara baju hangat dan baju dingin.
(e) Sinonim
antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola
ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama
kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia
mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu dan kuning.
Kedua, ada kata-kata yang bersinonim
pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar
bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Kita
dapat mengatakan “Saya betul.”; “Saya
benar.”; “Kebetulan saya.....” tetapi tidak mungkin kebenaran saya. Ketiga, ada
kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki
sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai
sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan;
dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat, ada
kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam
arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam
makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada
sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak
menentu.
Gorys Keraf (2006:
35) mengatakan bahwa sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa;
pertama-tama ia terjadi karena proses serapan. Pengenalan dengan bahasa lain
membawa akibat penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya
dalam bahasa Indonesia. Contoh, dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat
dan kotor masih menerima kata maksiat; sudah ada kata karangan masih menerima kata risalah, artikel, makalah, atau esei. Serapan ini bukan hanya menyangkut
referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut
referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim
terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari bahasa donor atau menerima
beberapa bentuk dari beberapa bahasa donor seperti: buku, kitab, pustaka; sekolah
dan madrasah; reklame, iklan, adpertens; teater, drama, dan sandiwara..
Penyebab kedua
terjadinya sinonim adalah adanya penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa
Indonesia. Tempat kediaman yang berlainan memengaruhi pula perbedaan kosakata
yang digunakan , walaupun referennya sama. Kita mengenal kata tali dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong, lempung dan tanah liat, dan lain sebagainya. Juga ada sinonim yang terjadi
karena pengambilan data dari dialek yang berlainan: tuli dan pekak, sore dan petang, dan sebagainya.
Faktor ketiga yang
menyebabkan terjadinya sinonim adalah makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif
dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai
emotifnya berbeda: ekonomis-hemat-irit,
dara-gadis-perawan, kikir-pelit, ingin-rindu-damba, sari-pati, mayat-jenazah,
bangkai, mati-meninggal-gugur-wafat-mangkat, penyair-pujangga-sastrawan,
kuat-perkasa-gagah, dan sebagainya.
2.2 Antonimi dan Oposisi
Kata antonimi berasal
dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang
artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk
benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai:
Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya
kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar
berantonim dengan kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
Sama halnya dengan
sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem,
tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk
tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggris kita jumpai
contoh thankful dengan thankless, dimana ful dan less
berantonim; antara progresif dengan regresif, dimana pro
dan re berantonim.
Dalam buku-buku
pelajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut lawan kata. Banyak orang
yang tidak setuju dengan istilah ini sebab pada hakikatnya yang berlawanan
bukan kata-kata itu, melainkan makna dari kata-kata itu. Maka, mereka yang
tidak setuju dengan istilah lawan kata lalu menggunakan istilah lawan makna.
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa antonim pun sama halnya dengan
sinonim, tidak bersifat mutlak. Sehubungan dengan ini banyak pula yang
menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras
saja. Berdasarkan sifatnya,
oposisi dapat dibedakan menjadi:
2.2.1 Oposisi Mutlak
Di sini terdapat
pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati.
Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab
sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan
sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Contoh lain
dari oposisi mutlak adalah kata gerak
dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak. Kedua proses ini tidak dapat
berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.
2.2.2 Oposisi
Kutub
Makna kata-kata
yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak,
melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua
buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin
tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin,
dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya. Itulah sebabnya kata-kata
yang beroposisi kutub ini sifatnya relatif, sukar ditentukan batasnya yang
mutlak. Atau bisa juga dikatakan
batasnya bisa bergeser, tidak tetap pada suatu titik. Kalau didiagramkan
keadaan tersebut menjadi sebagai berikut.
kutub A
kaya
batas
miskin
kutub B
Makin ke atas
makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun bats kaya-miskin itu sendiri
dapat bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini
tampak juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya, dan sangat
kaya. Atau pun juga dari adanya tingkat perbandingan seperti kaya, lebih kaya,
dan paling kaya. Namun yang paling kaya dalam suatu deret perbandingan mungkin
menjadi yang paling miskin dalam deret perbandingan yang lain.
Kata-kata yang
beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat,
panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
2.2.3 Oposisi Hubungan
Makna kata yang
beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena
ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka
oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan kata membeli.
Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi
proses kejadiannya berlaku serempak.proses menjual dan proses membeli
terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual
jika tak ada proses membeli. Contoh lain, kata suami beroposisi dengan kata
istri. Kedua kata ini hadir serempak: tak akan ada seseorang disebut sebagai
suami jika dia tidak mempunyai istri. Begitu pula sebaliknya.
Kata-kata yang
beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju,
pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan
sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu,
guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
2.2.4 Oposisi Hierarki
Makna kata-kata
yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.
Oleh karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter
beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam
deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton
beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran
yang menyatakan berat.
2.2.5 Oposisi Majemuk
Selama ini yang
dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli,
jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan kata Indonesia ada
kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Misalnya kata berdiri bisa
beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan
kata berjongkok.
Keadaan seperti
ini lazim disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Jadi:
duduk
berdiri berbaring
tiarap
berjongkok
Contoh lain, kata diam yang dapat
beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
2.3 Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo
yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagi “nama
sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi
definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang
bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat)
tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat
dua arah. Artinya, kalau kata bisa
yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’.
Hal-hal yang
menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal
dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ berasal dari bahasa Melayu,
sedangkan kata bisa yang berarti
‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
2. bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi
sebagai hasil proses morfologi. Misalnya, kata mengukur dalam kalimat Ibu
sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam
kalimat petugas agrarian itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur
(me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil
proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
Hominimi dan
sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan
tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi
antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara
morfem –nya pada kalimat: ”ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya”
berhomonimi dengan –nya pada kalimat ”Mau belajar tetapi bukunya belum ada.”
morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya
yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
2. Homonimi
antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata
bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti
‘sanggup, atau dapat’, antar kata semi yang berarti ’tunas’ dan kata semi yang
berarti ’setengah’.
3. Homonimi
antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan
cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang
berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
4. Homonimi
antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang
berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah
itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi
ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat
dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat
dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).
Homofoni
sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa
adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang
homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas
perbedaan makna. Misalnya kata bank
dan bang, yang bunyinya persis sama,
tetapi maknanya berbeda. Bank adalah
lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari abang yang berarti ’kakak
laki-laki’. Contoh lain adalah kata sanksi
yang berhomofon dengan kata sangsi.
Sanksi berarti ’akibat, konsekuensi’ seperti dalam kalimat Apa sanksinya kalau
belum membayar uang SPP? Sedangkan kata sangsi yang berarti ’ragu’ seperti
dalam kalimat Saya sangsi apakah dia akan dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
Dalam bahasa
Indonesia ada sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf), sedangkan
lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya kata teras
yang dilafalkan (təras) dan berarti ’inti kayu’ dengan kata teras yang
dilafalkan (teras) dan berarti ’lantai yang agak ketinggian di depan rumah’.
Contoh lain kata sedan yang dilafalkan (sədan) dan berarti ’tangis kecil, isak’
dengan kata sedan yang dilafalkan (sedan) dan berarti ’sejenis mobil
penumpang’. Kalau melihat kedua contoh di atas dapat dikatakan masalah
kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah karena tidak diperbedakannya
lambang untuk fonem /ə/ dan fonem /e/ di dalam sistem ejaan bahasa Indonesia
yang berlaku sekarang ini.
2.4 Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo
berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di
bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ialah
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Gorys Keraf (2006:
38) mengatakan bahwa hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas-bawah atau dalam suatu makna
terkandung sejumlah komponen yang lain. Kata yang berkedudukan sebagai kelas atas disebut superordinat dan kelas bawah
disebut hiponim.
Kata bunga merupakan superordinat yang
membawahi sejumlah hiponim antara lain: mawar,
melati, sedap malam, flamboyan, dan sebagainya. Tiap hiponim juga pada
gilirannya juga dapat menjadi superordinat bagi
sejumlah hiponim yang bernaung di bawahnya, seperti: kata mawar menjadi superordinat dari kata mawar merah, mawar putih, mawar hitam, dan
sebagainya.
ikan
tongkol bandeng tenggiri teri mujair
Kalau relasi
antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua
arah, maka relasi antar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi,
kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim
terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal
ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut
hipernimi.
Konsep hiponimi
dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna
sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain,
akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya.
makhluk
manusia binatang
ikan kambing monyet gajah
tongkol bandeng tenggiri teri mujair
2.5 Polisemi
Polisemi lazim
diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki
makna lebih dari satu. Kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki
enam buah konsep makna. Namun, makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang
polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari
komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut (1) bagian tubuh dari
leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu
yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting atau
terutama seperti kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian
dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti kepala paku dan kepala
jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan
kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala
menerima bantuan Rp 5000.00; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat. Badannya
besar tetapi kepalanya kosong.
Kata korban dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai memiliki makna (1) pemberian untuk menyatakan kebaktian, (2)
orang yang menderita kecelakaan karena
suatu perbuatan, (3) orang yang
meninggal karena tertimpa bencana. Ketiga makna ininberdekatan satu sama
lain dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu topik yang sama.
Persoalan lain
yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya
dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah
bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka
maknanya pun berbeda. Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan
sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah
sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah
sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi
perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi
tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang
lainnya.
III.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada
makalah telah diuraikan bahwa dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia
sering kali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya
lagi. Jenis-jenis relasi makna yang dibahas pada makalah ini antara lain:
sinonimi, antonimi dan oposisi, homonimi, homofoni, homografi, hiponimi,
hipernimi, dan polisemi. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim,
dan berhomonim memiliki sifat yang sama, yaitu bersifat dua arah. Selain
kenyataan-kenyataan ini, dalam hubungan makna, ada bentuk yang sama tetapi
maknanya berbeda; sementara ada kata yang bentuknya berbeda-beda tetapi
maknanya sama, dan ada juga kata yang maknanya lebih dari satu. Dari sekian banyak hubungan bentuk dan
makna yang ada, sejumlah di antaranya memiliki kedudukan yang sentral di dalam
semantik.
DAFTAR PUSTAKA
Adisutrisno,
Wagiman. 2008. Semantics. Yogyakarta:
Andi.
Chaer, Abdul.
2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf, Gorys.
2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Pateda, Mansoer.
2010. Semantik Leksikal. Jakarta:
Rineka Cipta.
terimakasih kak, materinya sangat bermanfaat.
BalasHapussaya juga punya ulasan mengenai Makalah diksi atau pemilihan kata di blog saya tugaskuliah15 siapa tahu dapat bermanfaat. terimakasih