Essai Cerpen
Setiap
kali saya membaca sebuah cerpen, ada beberapa pertanyaan yang pasti menjadi
langganan, yaitu (1) cerita itu tentang siapa, (2) bagaimana cerita itu
disampaikan, dan (3) apa yang diinginkan cerita itu. Dan, kerapkali ditambahkan
dengan (4) apakah konflik cerita benar-benar menegangkan, (5) apakah karakter
penokohan sudah kuat, (5) apakah klimaks akan benar-benar mengejutkan pembaca,
dan (6) apakah logika cerita akan benar-benar meyakinkan. Saya mencoba
melepaskan diri dari penjara teori-teori pembacaan cerita yang terlanjur saya
ketahui meskipun tak terlalu memahami, meski memang terpertanyakan: mungkinkah
berpendapat dan memaknai sesuatu tanpa teori? Oleh karena itu, saya tetap saja
berkutat pada apa sebenarnya yang memikat saya dari cerpen Aku dan Mama karya
Nursalam AR dan mengapa? Kemudian, apa manfaat yang bisa saya rekam ke dalam jejak
ingatan?
Biasanya,
setiap saya membaca cerita baik cerpen maupun novel, saya menyimpan harapan
semoga setelah halaman terakhir selesai saya baca, ada kesan yang bisa saya
simpan. Kesan itu bisa sangat kuat, bisa kuat, bisa lemah, bahkan bisa sangat
lemah. Dengan kata lain, saya berharap mampu menemukan sesuatu dibalik cerpen
ini. Semoga!
Banyak
orang yang ingin menulis cerita, baik pengalaman pribadi maupun endapan
pemikiran yang bersumber dari luar dirinya. Akan tetapi, tidak banyak yang
benar-benar bisa melakukannya. Sebagian alasannya adalah karena menulis cerita
itu memerlukan waktu. Mereka perlu waktu untuk melamunkan “ide cerita” yang
membayang di dalam benak, perlu waktu untuk menuliskannya, dan perlu waktu
untuk menggarapnya sehingga cerita itu siap untuk dibaca. Namun, Nursalam AR berhasil
melewati kungkungan waktu itu. Nursalam AR termasuk produktif menulis cerpen di
sela kesibukan sehari-harinya. Selain itu, cerita yang dihasilkannya pun bukan
cerita asal jadi. Pengalaman dan data-data di lapangan telah menjadi kawah
candradimuka yang mengasah kemampuan menulisnya di sela tenggat waktu yang
padat dan ketat.
Pada
hakikatnya, sebuah cerita adalah pekerjaan media yang membangun kembali
realitas (constructed reality) dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.
Oleh karena itu, sebuah cerita mempunyai peluang yang sangat besar untuk
menuturkan makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas kehidupan yang
dibangunnya. Nursalam AR dengan piawai mampu membangun realitas itu dalam cerita-cerita
yang ditulisnya. Di ujung pena Nursalam AR, bahasa bukan sekadar alat
komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau
citra tertentu yang hendak disampaikan kepada publik (pembaca). Dalam peradaban
yang kreatif, yang disampaikan dalam sebuah cerita bukan semata informasi tapi
juga ideologi dari penulis (Khrisna Pabichara, 2008).
Karya
sastra merupakan bentuk wacana yang dipengaruhi oleh individu pencipta karya
tersebut dengan segala ideologi yang dimilikinya yang sangat berperan dalam
melestarikan wacana nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara umum,
cerpen karya Nursalam AR yang saya telaah adalah penggambaran realitas yang
memang nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam telisik kali ini, saya
akan mengupas cerpen Aku dan Mama.
Dalam
cerpen Aku dan Mama lewat tokoh Aku
(si gadis kecil), Nursalam AR dengan cerdas memotret kelemahan dan keluguan
seorang gadis kecil yang kurang mendapat perhatian orang tua secara maksimal,
dikarenakan oleh segudang kesibukan. Faktanya, begitulah yang terjadi dalam
kehidupan nyata. Coba telisik dunia sekitar kita, dimana banyak di antara kita sebagai
manusia yang harusnya saling melindungi dan peduli pada anak sebagaimana
kewajiban orang tua. Kita bisa mulai membaca dari paragraf pembukanya:
Aku
meringis menahan sakit. Perlahan aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban
dari dalam. Kudorong sedikit. Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama
sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama
tampak gembira sekali.
Pengalaman
membuka pintu adalah pengalaman siapa saja. Artinya, semua orang pernah
mengalaminya. Namun tidak semua orang piawai menerjemahkan kebiasaan itu lewat
sebagian besar kata kerja (verba) dan kata benda (nomina). Seorang penulis,
melalui berbagai kapasitas kemampuan yang dimilikinya, tidak bijak jika
menyangka bisa mengelabui pembaca. Apalagi terhadap “sesuatu” yang dipahami detil
dan seuak-beluknya oleh pembaca, semisal kegiatan membuka pintu.
Dan saya
sangat terkesan pada bagaimana Nursalam AR mengatur pemunculan tokoh Aku (si
gadis kecil) di awal cerita. Aku meringis menahan sakit menunjukkan secara tegas bahwa tokoh Aku
sedang dalam kondisi kurang sehat. Dan, biasanya, kondisi seperti itu terjadi
karena ada “sesuatu yang tidak nyaman” yang dirasakan pada anggota tubuhnya dan
sangat ingin berkeluh kesah pada mamanya. Sementara faktanya, sang mama sedang
asik dengan kegiatannya. Mama sedang
berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak
gembira sekali.
Pembaca
fiksi senang merangkai imajinasi sendiri dari cerita yang disajikan penulis,
dan mereka akan lebih mudah memercayai dan meyakini kehebatan sebuah cerita
jika ada sebagian yang bisa mereka imajinasikan. Dan, Nursalam AR berhasil
meletakkan kekuatan fiksinya pada pembuka ceritanya. Contohnya pada kalimat: Aku meringis menahan sakit . Kalimat ini bisa merangsang
imaji pembaca untuk segera membayangkan ketaknyamanan yang dirasakan tokoh Aku.
Kata sakit
adalah sebuah tanda yang digunakan penulis agar pembaca menafsirkan maknanya. Mungkin
ada yang berimajinasi bahwa tokoh Aku sakit perut, gigi, atau bahkan menahan
lapar karena seharian tak ada makanan yang masuk ke mulutnya.
Cerita
Aku dan Mama sangat dekat dengan
kenyataan yang terjadi di Negara kita tercinta ini. Bagaimana tidak, dikisahkan
seorang gadis kecil yang memiliki nasib kurang beruntung dibandingkan oleh
anak-anak seusianya. Meskipun penulis tidak menyebutkan secara jelas berapa
usia tokoh Aku ini, tetapi kita sebagai pembaca digiring untuk dapat
menafsirkan sendiri kisaran usia tokoh Aku yang disebutkan dalam cerita masih
duduk di bangku SD. Dengan kondisi keluarga yang tidak utuh, tokoh aku hanya
bertanya-tanya tanpa tahu kepastian dimana sebenarnya sosok ayahnya berada.
Yang dia yakini dari mulut mamanya, bahwa papanya sedang berada di luar negeri.
Mamaku cantik lho, pintar pula. Dia
dosen. Sering juga menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sering diajaknya
ikut seminar di hotel-hotel berbintang meskipun aku tidak mengerti apa yang
orang-orang dewasa itu bicarakan. Tapi aku senang kok. Snack seminarnya
enak-enak. Pesertanya ramai pula. Jadi seru aja buatku. Eh, tadi sore Mang
Dimin juga bilang aku cantik!
Latar
belakang memiliki seorang mama yang notabene seorang dosen membuat tokoh Aku
merasa senang, karena sering diajak mengikuti seminar di hotel-hotel berbintang
dan yang paling ia senangi adalah snack seminar yang enak-enak. Di usianya yang
baru duduk di kelas satu SD ini, tokoh Aku belum memiliki rasa kecurigaan yang
berlebihan terhadap siapa saja yang dekat dengannya. Karena pada umumnya
anak-anak di usia tersebut masih lugu dan polos. Ketika membaca tulisan dilayar
laptop KERAGAMAN BUDAYA DAN UNDANG-UNDANG
ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI pun ia belum memahami apa arti dari kata-kata yang
baru saja ia eja dengan polosnya itu. Tanpa menyadari bahaya
yang sedang mengintainya.
Jam Junghun besar di kamar Mama
berdentang sepuluh kali. Aku merasa lelah sekali. Di antara kedua
selangkanganku masih nyeri. Tadi sore Mang Dimin mengajakku bermain permainan
yang aneh di kamarnya. Katanya belajar dari VCD. Itu yang ingin kutanyakan pada
Mama. Namun Mama terus saja mengetik. Hanya sunyi kemudian yang kudengar.
Penulis
sangat berani menuangkan kalimat-kalimat penutup yang menjadi inti cerita
sebenarnya. Mungkin karena penulis memotret secara langsung kejadian yang
sering diperbincangkan akhir-akhir ini. Seperti
kita ketahui bersama, dewasa ini kita banyak mendengar tentang pelecehan
seksual pada anak-anak. Dalam seminggu saja ada banyak berita pencabulan
anak-anak yang dilakukan oknum guru, ayah kandung, atau orang-orang terdekat
lainnya di beberapa tempat yang saya dengar dari televisi. Sudah saatnya kita
berbicara mengenai tindakan apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk
meminimalisir resiko anak-anak mereka dilecehkan. Seharusnya para orang tua
sudah lebih sadar tentang masalah sosial ini dan segera mengambil langkah
mengamankan anak-anak dari pelecehan di masa depan. Dengan penalaran logika, kita
bisa menyimpulkan beberapa jalan untuk melindungi anak-anak kita dari “pemangsa
seksual”. Mengatahui keberadaan anak
dan bersama siapa sepanjang waktu, dorong anak-anak untuk menceritakan aktivitas yang telah dilakukannya
seharian, perhatikan lingkungan sekitar dan waspada terhadap tanda-tanda bahaya,
ajarkan pada anak-anak bahwa bahaya bisa saja berasal dari orang yang mereka
percaya.
Bagi
saya, cerita adalah media yang sangat menarik dan sangat potensial sebagai
sarana untuk menyampaikan gagasan-gagasan baru, pesan-pesan moral, atau kritik
sosial sekaligus. Hanya saja, dalam cerpen ini, pilihan kata yang dikemas dalam
bentuk dialog, masih perlu digali dan dikemas sedemikian rupa sehingga bisa
menjadi penopang cerita. Percakapan-percakapan yang muncul dalam cerita, tentu saja, karena mereka
juga muncul dalam kehidupan. Memang, mungkin saja cerita ditulis berdasarkan
khayalan semata, tetapi cerita selalu meniru kehidupan.
Penutupan
cerita ini selalu saya ingat, sederhana tapi bermakna dalam. Menyisakan rongga
menganga dalam dada yang dipenuhi tanda tanya: masihkah kita peduli pada nasib
anak-anak kita, meraka generasi bangsa? Tragis dan sangat reflektif.
Lampiran cerpen:
Aku dan Mama
Oleh: Nursalam AR
Aku meringis menahan sakit. Perlahan
aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong sedikit.
Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama sedang berbicara di telepon
genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.
“Begitulah, Jeng, kita harus maju terus. Biar pun jumlah kita sedikit, kita punya dukungan media massa!” Lantas Mama terdiam. Asap rokok putihnya mengepul.
“Ya, iyalah. Biar mereka demo sejuta atau dua juta orang, kalau ga ada TV yang liput ya nihil juga to? Lagian soal begituan kok diatur-atur segala. Porno atau tidak, itu kan tergantung pikiran kita. Kalo iman kita kuat, masak sih tergoda!” sahut Mama tangkas. Ia meneguk kopinya.
Mama tertawa lagi mendengar balasan di ujung telepon.
“Ah, Jeng Rieke bisa aja. Tapi betul juga sih bisa mati juga rejeki kamu ya. Dasar selebritis!” Gelak tawa Mama kian menggelegar. Membelah sunyi malam di kompleks elite ini.
“Oke, sampai ketemu pada rapat besok sore ya. Sorry, aku mungkin agak telat. Aku harus kasih kuliah dulu di fakultas. Ini lagi ketik makalahnya. Okay, see you. Daag!”
Mama tersenyum menutup telepon genggamnya. Sejenak kemudian ia baru menyadari kehadiranku, putri tunggalnya.
“Eh, sudah lama, Sayang?” sambutnya seraya lekas mematikan rokok di asbak.
“Mama sih lama banget telponnya,” ujarku merajuk. Aku menyurukkan kepalaku ke pangkuannya. Hangat. Tangan Mang Dimin,sopirku, yang sering menjawil pipiku juga hangat.
Mama tertawa. Ia membelai dan mendekapku. “Kamu kok belum tidur, Honey?”
“Enggak tau. Nggak bisa tidur aja. Mama masih mau ngetik?” tanyaku. Kulihat layar laptopnya menyala. “Ma, Tini mau tanya sesuatu. Boleh?”
“Boleh dong, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya. Mama selesaikan dulu barang lima menit. Setelah itu Mama antar kamu ke kamar. Kamu mau Mama lanjutin dongeng yang kemarin kan?”
Bukan itu sebetulnya. Tetapi aku tersenyum saja. Mamaku ini memang pandai sekali bercerita. Setiap malam, sejak aku bayi, kata Mama, aku selalu didongenginya bermacam-macam cerita. Sampai aku kelas satu SD seperti sekarang, aku tidak pernah bosan. Ada saja dongengnya yang menarik.
“Begitulah, Jeng, kita harus maju terus. Biar pun jumlah kita sedikit, kita punya dukungan media massa!” Lantas Mama terdiam. Asap rokok putihnya mengepul.
“Ya, iyalah. Biar mereka demo sejuta atau dua juta orang, kalau ga ada TV yang liput ya nihil juga to? Lagian soal begituan kok diatur-atur segala. Porno atau tidak, itu kan tergantung pikiran kita. Kalo iman kita kuat, masak sih tergoda!” sahut Mama tangkas. Ia meneguk kopinya.
Mama tertawa lagi mendengar balasan di ujung telepon.
“Ah, Jeng Rieke bisa aja. Tapi betul juga sih bisa mati juga rejeki kamu ya. Dasar selebritis!” Gelak tawa Mama kian menggelegar. Membelah sunyi malam di kompleks elite ini.
“Oke, sampai ketemu pada rapat besok sore ya. Sorry, aku mungkin agak telat. Aku harus kasih kuliah dulu di fakultas. Ini lagi ketik makalahnya. Okay, see you. Daag!”
Mama tersenyum menutup telepon genggamnya. Sejenak kemudian ia baru menyadari kehadiranku, putri tunggalnya.
“Eh, sudah lama, Sayang?” sambutnya seraya lekas mematikan rokok di asbak.
“Mama sih lama banget telponnya,” ujarku merajuk. Aku menyurukkan kepalaku ke pangkuannya. Hangat. Tangan Mang Dimin,sopirku, yang sering menjawil pipiku juga hangat.
Mama tertawa. Ia membelai dan mendekapku. “Kamu kok belum tidur, Honey?”
“Enggak tau. Nggak bisa tidur aja. Mama masih mau ngetik?” tanyaku. Kulihat layar laptopnya menyala. “Ma, Tini mau tanya sesuatu. Boleh?”
“Boleh dong, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya. Mama selesaikan dulu barang lima menit. Setelah itu Mama antar kamu ke kamar. Kamu mau Mama lanjutin dongeng yang kemarin kan?”
Bukan itu sebetulnya. Tetapi aku tersenyum saja. Mamaku ini memang pandai sekali bercerita. Setiap malam, sejak aku bayi, kata Mama, aku selalu didongenginya bermacam-macam cerita. Sampai aku kelas satu SD seperti sekarang, aku tidak pernah bosan. Ada saja dongengnya yang menarik.
Mama mengecup dahiku. Lantas meneruskan mengetik dengan jari-jarinya yang lentik. Mamaku cantik lho, pintar pula. Dia dosen. Sering juga menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sering diajaknya ikut seminar di hotel-hotel berbintang meskipun aku tidak mengerti apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan. Tapi aku senang kok. Snack seminarnya enak-enak. Pesertanya ramai pula. Jadi seru aja buatku. Eh, tadi sore Mang Dimin juga bilang aku cantik!
Aku berjinjit melihat layar laptop yang terletak di atas meja kerja Mama. Mama sedang serius sekali. Kueeja judul besar di layar itu: KERAGAMAN BUDAYA DAN UNDANG-UNDANG ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI. Apa sih maksudnya?
Rasanya berat otak kecilku mencernanya. Mendadak aku merasa mengantuk sekali. Aku naik ke pangkuan Mama. Kubenamkan tubuhku di dadanya. Bertahun-tahun kunikmati kehangatan seorang Mama. Tapi aku tak pernah tahu di mana Papa. Papa sedang ke luar negeri, ujar Mama selalu. Tapi kok tidak pulang-pulang ya?
Jam Junghun besar di kamar Mama berdentang sepuluh kali. Aku merasa lelah sekali. Di antara kedua selangkanganku masih nyeri. Tadi sore Mang Dimin mengajakku bermain permainan yang aneh di kamarnya. Katanya belajar dari VCD. Itu yang ingin kutanyakan pada Mama. Namun Mama terus saja mengetik. Hanya sunyi kemudian yang kudengar.
Jakarta, Mei-Juli 2006
****
wuihh ok punya nih....
BalasHapus