Kamis, 22 November 2012

Essai


Essai  Cerpen

Setiap kali saya membaca sebuah cerpen, ada beberapa pertanyaan yang pasti menjadi langganan, yaitu (1) cerita itu tentang siapa, (2) bagaimana cerita itu disampaikan, dan (3) apa yang diinginkan cerita itu. Dan, kerapkali ditambahkan dengan (4) apakah konflik cerita benar-benar menegangkan, (5) apakah karakter penokohan sudah kuat, (5) apakah klimaks akan benar-benar mengejutkan pembaca, dan (6) apakah logika cerita akan benar-benar meyakinkan. Saya mencoba melepaskan diri dari penjara teori-teori pembacaan cerita yang terlanjur saya ketahui meskipun tak terlalu memahami, meski memang terpertanyakan: mungkinkah berpendapat dan memaknai sesuatu tanpa teori? Oleh karena itu, saya tetap saja berkutat pada apa sebenarnya yang memikat saya dari cerpen Aku dan Mama karya Nursalam AR dan mengapa? Kemudian, apa manfaat yang bisa saya rekam ke dalam jejak ingatan?
Biasanya, setiap saya membaca cerita baik cerpen maupun novel, saya menyimpan harapan semoga setelah halaman terakhir selesai saya baca, ada kesan yang bisa saya simpan. Kesan itu bisa sangat kuat, bisa kuat, bisa lemah, bahkan bisa sangat lemah. Dengan kata lain, saya berharap mampu menemukan sesuatu dibalik cerpen ini. Semoga!
Banyak orang yang ingin menulis cerita, baik pengalaman pribadi maupun endapan pemikiran yang bersumber dari luar dirinya. Akan tetapi, tidak banyak yang benar-benar bisa melakukannya. Sebagian alasannya adalah karena menulis cerita itu memerlukan waktu. Mereka perlu waktu untuk melamunkan “ide cerita” yang membayang di dalam benak, perlu waktu untuk menuliskannya, dan perlu waktu untuk menggarapnya sehingga cerita itu siap untuk dibaca. Namun, Nursalam AR berhasil melewati kungkungan waktu itu. Nursalam AR termasuk produktif menulis cerpen di sela kesibukan sehari-harinya. Selain itu, cerita yang dihasilkannya pun bukan cerita asal jadi. Pengalaman dan data-data di lapangan telah menjadi kawah candradimuka yang mengasah kemampuan menulisnya di sela tenggat waktu yang padat dan ketat.
Pada hakikatnya, sebuah cerita adalah pekerjaan media yang membangun kembali realitas (constructed reality) dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Oleh karena itu, sebuah cerita mempunyai peluang yang sangat besar untuk menuturkan makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas kehidupan yang dibangunnya. Nursalam AR dengan piawai mampu membangun realitas itu dalam cerita-cerita yang ditulisnya. Di ujung pena Nursalam AR, bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak disampaikan kepada publik (pembaca). Dalam peradaban yang kreatif, yang disampaikan dalam sebuah cerita bukan semata informasi tapi juga ideologi dari penulis (Khrisna Pabichara, 2008).
Karya sastra merupakan bentuk wacana yang dipengaruhi oleh individu pencipta karya tersebut dengan segala ideologi yang dimilikinya yang sangat berperan dalam melestarikan wacana nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Secara umum, cerpen karya Nursalam AR yang saya telaah adalah penggambaran realitas yang memang nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam telisik kali ini, saya akan mengupas cerpen Aku dan Mama.
Dalam cerpen Aku dan Mama lewat tokoh Aku (si gadis kecil), Nursalam AR dengan cerdas memotret kelemahan dan keluguan seorang gadis kecil yang kurang mendapat perhatian orang tua secara maksimal, dikarenakan oleh segudang kesibukan. Faktanya, begitulah yang terjadi dalam kehidupan nyata. Coba telisik dunia sekitar kita, dimana banyak di antara kita sebagai manusia yang harusnya saling melindungi dan peduli pada anak sebagaimana kewajiban orang tua. Kita bisa mulai membaca dari paragraf pembukanya:
Aku meringis menahan sakit. Perlahan aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong sedikit. Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.

Pengalaman membuka pintu adalah pengalaman siapa saja. Artinya, semua orang pernah mengalaminya. Namun tidak semua orang piawai menerjemahkan kebiasaan itu lewat sebagian besar kata kerja (verba) dan kata benda (nomina). Seorang penulis, melalui berbagai kapasitas kemampuan yang dimilikinya, tidak bijak jika menyangka bisa mengelabui pembaca. Apalagi terhadap “sesuatu” yang dipahami detil dan seuak-beluknya oleh pembaca, semisal kegiatan membuka pintu.  
Dan saya sangat terkesan pada bagaimana Nursalam AR mengatur pemunculan tokoh Aku (si gadis kecil)  di awal cerita. Aku meringis menahan sakit  menunjukkan secara tegas bahwa tokoh Aku sedang dalam kondisi kurang sehat. Dan, biasanya, kondisi seperti itu terjadi karena ada “sesuatu yang tidak nyaman” yang dirasakan pada anggota tubuhnya dan sangat ingin berkeluh kesah pada mamanya. Sementara faktanya, sang mama sedang asik dengan kegiatannya. Mama sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.
Pembaca fiksi senang merangkai imajinasi sendiri dari cerita yang disajikan penulis, dan mereka akan lebih mudah memercayai dan meyakini kehebatan sebuah cerita jika ada sebagian yang bisa mereka imajinasikan. Dan, Nursalam AR berhasil meletakkan kekuatan fiksinya pada pembuka ceritanya. Contohnya pada kalimat: Aku meringis menahan sakit . Kalimat ini bisa merangsang imaji pembaca untuk segera membayangkan ketaknyamanan yang dirasakan tokoh Aku.  Kata sakit adalah sebuah tanda yang digunakan penulis agar pembaca menafsirkan maknanya. Mungkin ada yang berimajinasi bahwa tokoh Aku sakit perut, gigi, atau bahkan menahan lapar karena seharian tak ada makanan yang masuk ke mulutnya.
Cerita Aku dan Mama sangat dekat dengan kenyataan yang terjadi di Negara kita tercinta ini. Bagaimana tidak, dikisahkan seorang gadis kecil yang memiliki nasib kurang beruntung dibandingkan oleh anak-anak seusianya. Meskipun penulis tidak menyebutkan secara jelas berapa usia tokoh Aku ini, tetapi kita sebagai pembaca digiring untuk dapat menafsirkan sendiri kisaran usia tokoh Aku yang disebutkan dalam cerita masih duduk di bangku SD. Dengan kondisi keluarga yang tidak utuh, tokoh aku hanya bertanya-tanya tanpa tahu kepastian dimana sebenarnya sosok ayahnya berada. Yang dia yakini dari mulut mamanya, bahwa papanya sedang berada di luar negeri.
Mamaku cantik lho, pintar pula. Dia dosen. Sering juga menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sering diajaknya ikut seminar di hotel-hotel berbintang meskipun aku tidak mengerti apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan. Tapi aku senang kok. Snack seminarnya enak-enak. Pesertanya ramai pula. Jadi seru aja buatku. Eh, tadi sore Mang Dimin juga bilang aku cantik!

Latar belakang memiliki seorang mama yang notabene seorang dosen membuat tokoh Aku merasa senang, karena sering diajak mengikuti seminar di hotel-hotel berbintang dan yang paling ia senangi adalah snack seminar yang enak-enak. Di usianya yang baru duduk di kelas satu SD ini, tokoh Aku belum memiliki rasa kecurigaan yang berlebihan terhadap siapa saja yang dekat dengannya. Karena pada umumnya anak-anak di usia tersebut masih lugu dan polos. Ketika membaca tulisan dilayar laptop KERAGAMAN BUDAYA DAN UNDANG-UNDANG ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI pun ia belum memahami apa arti dari kata-kata yang baru saja ia eja dengan polosnya itu. Tanpa menyadari bahaya yang sedang mengintainya.
Jam Junghun besar di kamar Mama berdentang sepuluh kali. Aku merasa lelah sekali. Di antara kedua selangkanganku masih nyeri. Tadi sore Mang Dimin mengajakku bermain permainan yang aneh di kamarnya. Katanya belajar dari VCD. Itu yang ingin kutanyakan pada Mama. Namun Mama terus saja mengetik. Hanya sunyi kemudian yang kudengar.
Penulis sangat berani menuangkan kalimat-kalimat penutup yang menjadi inti cerita sebenarnya. Mungkin karena penulis memotret secara langsung kejadian yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini.  Seperti kita ketahui bersama, dewasa ini kita banyak mendengar tentang pelecehan seksual pada anak-anak. Dalam seminggu saja ada banyak berita pencabulan anak-anak yang dilakukan oknum guru, ayah kandung, atau orang-orang terdekat lainnya di beberapa tempat yang saya dengar dari televisi. Sudah saatnya kita berbicara mengenai tindakan apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk meminimalisir resiko anak-anak mereka dilecehkan. Seharusnya para orang tua sudah lebih sadar tentang masalah sosial ini dan segera mengambil langkah mengamankan anak-anak dari pelecehan di masa depan. Dengan penalaran logika, kita bisa menyimpulkan beberapa jalan untuk melindungi anak-anak kita dari “pemangsa seksual”. Mengatahui keberadaan anak dan bersama siapa sepanjang waktu, dorong anak-anak untuk menceritakan aktivitas yang telah dilakukannya seharian, perhatikan lingkungan sekitar dan waspada terhadap tanda-tanda bahaya, ajarkan pada anak-anak bahwa bahaya bisa saja berasal dari orang yang mereka percaya.
Bagi saya, cerita adalah media yang sangat menarik dan sangat potensial sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan-gagasan baru, pesan-pesan moral, atau kritik sosial sekaligus. Hanya saja, dalam cerpen ini, pilihan kata yang dikemas dalam bentuk dialog, masih perlu digali dan dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menjadi penopang cerita. Percakapan-percakapan yang  muncul dalam cerita, tentu saja, karena mereka juga muncul dalam kehidupan. Memang, mungkin saja cerita ditulis berdasarkan khayalan semata, tetapi cerita selalu meniru kehidupan.

Penutupan cerita ini selalu saya ingat, sederhana tapi bermakna dalam. Menyisakan rongga menganga dalam dada yang dipenuhi tanda tanya: masihkah kita peduli pada nasib anak-anak kita, meraka generasi bangsa? Tragis dan sangat reflektif.  

Lampiran cerpen:
Aku dan Mama
Oleh: Nursalam AR


Aku meringis menahan sakit. Perlahan aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong sedikit. Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.

“Begitulah, Jeng, kita harus maju terus. Biar pun jumlah kita sedikit, kita punya dukungan media massa!” Lantas Mama terdiam. Asap rokok putihnya mengepul.

“Ya, iyalah. Biar mereka demo sejuta atau dua juta orang, kalau ga ada TV yang liput ya nihil juga to? Lagian soal begituan kok diatur-atur segala. Porno atau tidak, itu kan tergantung pikiran kita. Kalo iman kita kuat, masak sih tergoda!” sahut Mama tangkas. Ia meneguk kopinya.

Mama tertawa lagi mendengar balasan di ujung telepon.

“Ah, Jeng Rieke bisa aja. Tapi betul juga sih bisa mati juga rejeki kamu ya. Dasar selebritis!” Gelak tawa Mama kian menggelegar. Membelah sunyi malam di kompleks elite ini.

“Oke, sampai ketemu pada rapat besok sore ya. Sorry, aku mungkin agak telat. Aku harus kasih kuliah dulu di fakultas. Ini lagi ketik makalahnya. Okay, see you. Daag!”

Mama tersenyum menutup telepon genggamnya. Sejenak kemudian ia baru menyadari kehadiranku, putri tunggalnya.

“Eh, sudah lama, Sayang?” sambutnya seraya lekas mematikan rokok di asbak.

“Mama sih lama banget telponnya,” ujarku merajuk. Aku menyurukkan kepalaku ke pangkuannya. Hangat. Tangan Mang Dimin,sopirku, yang sering menjawil pipiku juga hangat.

Mama tertawa. Ia membelai dan mendekapku. “Kamu kok belum tidur, Honey?”

“Enggak tau. Nggak bisa tidur aja. Mama masih mau ngetik?” tanyaku. Kulihat layar laptopnya menyala. “Ma, Tini mau tanya sesuatu. Boleh?”

“Boleh dong, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya. Mama selesaikan dulu barang lima menit. Setelah itu Mama antar kamu ke kamar. Kamu mau Mama lanjutin dongeng yang kemarin kan?”

Bukan itu sebetulnya. Tetapi aku tersenyum saja. Mamaku ini memang pandai sekali bercerita. Setiap malam, sejak aku bayi, kata Mama, aku selalu didongenginya bermacam-macam cerita. Sampai aku kelas satu SD seperti sekarang, aku tidak pernah bosan. Ada saja dongengnya yang menarik.


Mama mengecup dahiku. Lantas meneruskan mengetik dengan jari-jarinya yang lentik. Mamaku cantik lho, pintar pula. Dia dosen. Sering juga menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sering diajaknya ikut seminar di hotel-hotel berbintang meskipun aku tidak mengerti apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan. Tapi aku senang kok. Snack seminarnya enak-enak. Pesertanya ramai pula. Jadi seru aja buatku. Eh, tadi sore Mang Dimin juga bilang aku cantik!

Aku berjinjit melihat layar laptop yang terletak di atas meja kerja Mama. Mama sedang serius sekali. Kueeja judul besar di layar itu: KERAGAMAN BUDAYA DAN UNDANG-UNDANG ANTIPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI. Apa sih maksudnya?

Rasanya berat otak kecilku mencernanya. Mendadak aku merasa mengantuk sekali. Aku naik ke pangkuan Mama. Kubenamkan tubuhku di dadanya. Bertahun-tahun kunikmati kehangatan seorang Mama. Tapi aku tak pernah tahu di mana Papa. Papa sedang ke luar negeri, ujar Mama selalu. Tapi kok tidak pulang-pulang ya?

Jam Junghun besar di kamar Mama berdentang sepuluh kali. Aku merasa lelah sekali. Di antara kedua selangkanganku masih nyeri. Tadi sore Mang Dimin mengajakku bermain permainan yang aneh di kamarnya. Katanya belajar dari VCD. Itu yang ingin kutanyakan pada Mama. Namun Mama terus saja mengetik. Hanya sunyi kemudian yang kudengar.

Jakarta, Mei-Juli 2006
****

1 komentar: