Malam Kesaksian
Bertandang ke gubuk jumat,
terlihat pekat jatuh merapat di malam perempat.
Sejengkal jarak antara keramat,
pun tabir pekat siap melumat,
hingga terdengar nyanyian kiamat.
Angin berhenti..
Rembulan memucat,
bagai mayat yang terapung di kali.
Lentera padam..
Ombak menawar bisu,
bagai kehilangan sluruh garam.
Ini malam kesaksian,
diantara jeritan yang terseret bersama luka menganga,
diantara manusia nista yang sibuk berlari menjauhi jilatan lava.
Jika diizinkan,
pertemukanlah di tangga keabadian tuk sejenak memandang.
Metro, 23 November 2012
Selarik Ayat
Selarik ayat mungkin tlah dia kirimkan,
hingga wajah purnama ketiga terasa semakin dekat.
Selarik ayat mungkin tlah dia gemakan,
hingga bergetar hati yang risau.
Rupa pucat
tatapan tersembunyi
lalu tersenyum.
Masih terlalu dini untuk menyelami samudera
tuangkan saja pada gelas yang pas, pesanku.
Sepanjang ayat yang tlah dia perdengarkan,
pun demikian balasku.
Metro, 4 Okt 2012
Wajah Kencur
Malam kian larut
wajah kencur masih bergelayut
tak ingin kehilangan raut
meski tak berpaut
Malam kian dingin
wajahnya seperti angin
berbisik tanpa izin
seolah sampaikan ingin
Muda dengan segala rasa
sampai tinggalkan asa
apakah benar ucapnya?
Tua tak luput rasa
sisakan tanya
apakah arti dari satu dua ucap kata
yang meluncur dari bibir mungilnya?
Andai saja malam tak larut
mungkin memori akan luput.
Metro, 2 Okt 2012
Bocah
Bocah itu tiba-tiba nyusup ke paru-paru
memberi udara segar seperti tak mau keluar
Bah! Macam virus bersarang saja.
Menyelinap di balik jantung
dan nongkrong di hunian rasa
padahal tak sedikitpun diinginkan
Metro, 26 Sept 2012
Tugasku tidak untuk terpengaruh oleh fenomena yang sedang terjadi, tetapi untuk menulis dan menemukan solusi tentang fenomena tersebut. (Dianasiska)
Jumat, 23 November 2012
Aliran-aliran Psikolinguistik
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain
berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan
berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung
secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya,
kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental
(otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi
linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan
psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik.
Wundt adalah
Bapak Psikologi Eksperimen yang pertama kali membangun Laboratorium Psikologi
di Leipzig, Jerman pada abad ke-19. Di
samping itu, Wundt telah memperkenalkan apa yang pada waktu itu di sebut
Psikologi Bahasa (Psychologie Der Sprache) yang materinya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dibahas dalam Psikolinguistik dewasa ini. Istilah
Psikolinguistik merupakan istilah lain dari Psikologi Bahasa yang muncul
setelah Perang Dunia Kedua.
Pada tahun
1900 Wundt menulis buku tentang psikolingistik yang berjudul ”Die Sprache” terdiri
atas dua jilid. Die Sprache inji merupakan bagian dari satu set buku karangan Wundt
yang berjudul ”Volker Psychologie”
(Psikologi Bangsa) yang membahas tentang kebudayaan, struktur sosial bahasa,
moral, dan lain-lain dari pelbagai bangsa yang berbeda di dunia. Isinya semacam
antropologi terhadap kebanyakan para psikolog yang tidak menyadari atau
mengetahuinya.
Dalam
bukunya itu, Wundt berusaha dengan keras mennabungkan dua aliran yang sangat
kuat pada abad ke-19, yaitu aliran idealisme atau rasionalisme dengan alirn
empirisme.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan psikologi?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan lingustik?
3.
Apakah
yang dimaksud dengan psikolinguistik?
4.
Aliran-aliran
apa sajakah yang terdapat dalam psikolinuistik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Psikologi
Secara etimologi kata psikologi
berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. kata psyche
berarti jiwa, roh, atau sukma, sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi,
secara harfiah berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa.
dulu ketika psikologi adalah ilmu yang mengkaji jiwa masih bisa dipertahankan.
Dalam kepustakaan pada tahun 50an nama ilmu jiwa lazim digunakan sebagai padanan
kata psikologi. Namun, kini istilah ilmu jiwa tidak digunakan lagi karena
bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa, roh, atau sukma, sehingga istilah
itu kurang tepat.
Dalam perkembangan lebih lanjut,
psikologi lebih membahas atau mengkaji sisi – sisi manusia dari segi yang bisa
diamati. Kareba jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara
empiris, padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara
indrawi. Dalam hal ini jiwa atau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalui gejala
– gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung, dan orang yang
gembira tampak dari gerak – geriknya yang riang atau dari wajahnya yang binar –
binar. Meskipun demikian, kita juga sering mendapat kesulitan untuk mengetahui
keadaan jiwa seseorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja. Tidak jarang
kita jumpai seseorang yang sebenarnya sedih tetapi tetap tersenyum. Atau
seseorang yang sebenarnya jengkel atau marah tetapi tetap tenang atau malah
tertawa.
Walaupun besar gerak – gerik lahir seseorang
belum tentu menggambarkan keadaan jiwa yang sebanarnya, namun, secara
tradisional, psikologi lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba
mempelajari perilaku manusia. Caranya adalah dengan mengkaji hakikat
rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan itu dan mengkaji hakikat proses
– proses akal yang berlaku sebelum reaksi itu terjadi. Para ahli psikologi
belakangan ini juga cenderung untuk menganggap psikologi sebagai suatu ilmu
yang mecoba mengkaji proses akal manusia dan segala manifestasinya yang
mengatur perilaku manusia itu. Tujuan pengkajian akal ini adalah untuk
menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol perilaku manusia.
Dalam perkembangannya, psikologi telah
menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah
dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang bahavioristik, dan yang
kognitifistik.
Psikologi yang mentalistik melahirkan
aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan utama psikologi
kesadaran adalah mencoba mengkaji proses – proses akal manusia dengan cara
mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim
juga disebut psikologi introspeksionisme. Psikologi ini merupakan suatu
proses akal dengan cara melihat kedalam diri sendiri setelah suatu rangsangan
terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan
aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan utama psikologi perilaku
ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu
rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku
itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses –
proses akal yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses – proses akal
ini tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar
psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide – ide, pengertian, kemauan,
keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang dikaji
hanyalah peristiwa – peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret,
yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia.
Psikologi yang kognitifistik dan lazim
disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji proses–proses kognitif
manusia secara ilmiah. Yang dimaksud kognitif adalah proses–proses akal
(pikiran, berpikir) manusia yang bertanggung jawab mengatur pengalaman dan
perilaku manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah
bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan,
mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan
penggunaan pengetahuan bahasa. Perbedaannya dengan psikologi kesadaran adalah
bahwa menurut paham mentalisme proses–proses akal itu berlangsung setelah
terjadinya rangsangan. Sedangkan menurut psikologi kognitif proses– proses akal
itu dapat terjadi karena adanya kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih
dahulu.kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku
yang muncul sebagai hasil proses akal seperti ini disebut perilaku atau
tindakan bertujuan sebagai hasil kreativitas organisme manusia itu sendiri.
Psikologi sangat berkaitan erat dengan
kehidupan manusia dalam segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu,
muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai dengan
penarapannya. Diantara cabang–cabang itu adalah psikologi sosial, psikologi
perkembangan, psikologi klinik, psikologi komunikasi, dan psikologi bahasa.
B. Linguistik
Secara umum linguistik lazim
diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Pakar linguistik disebut lingui, dalam bahasa inggris juga
berarti orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa, selain bermakna pakar
linguistik. Seseorang linguis mempelajari bahasa bukan dengan tujuan utama
untuk mahir menggunakan bahasa itu, melainkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai
kaidah – kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang
menyangkut bahasa itu. Andaikata si linguis ingin memahirkan penggunaan bahasa
bahasa itu tentu juga tidak ada salahnya. Bahkan akan menjadi lebih baik.
Sebaiknya, seseorang yang mahir dan lancar dalam menggunakan beberapa bahasa,
belum tentu dia seorang linguis kalau dia tidak mendalami teori tentang bahasa.
Orang seperti ini lebih tepat disebut seorang poliglot ”berbahasa
banyak”, sebagai dikotomi dari monoglot ”berbahasa satu”.
Kalau dikatakan bahwa linguistik atu
adalah ilmu yang objek kajiannya adalah bahaasa, sedangkan bahasa itu sendiri
merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia, maka
linguistik itu pun menjadi sangat luas bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita
bisa lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai
kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan linguistik itu adalah sebagai
berikut.
- Menurut objek kajian, linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri, mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan objek kajian linguistik makro adlah bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi. Berkaitan dengan faktor – faktor di luar bahasa itu muncullah bidang – bidang seperti sosiologistik, psikologistik, neurolinguistik dan etnolinguistik. Disini, linguistik dipandang sebagai disiplin utama, sedangkan ilmu-ilmu lain sebagai disiplin bawahan.
- Menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besaar yaitu linguistik teoteris dan linguistik terapan. Kajian teoteris hanya ditujukan untuk mencari atau menentukan teori – teori linguistik. Hanya untuk membuat kaidah – kaidah linguistik secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah – kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus, dan sebagainya.
- Adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Sejarah linguiatik mengkaji perkembangan ilmu linguistik, baik mengenai tokoh – tokohnya, aliran – aliran teorinya, maupun hasil – hasil kerjanya.
Dalam kaitannya dengan psikologi,
linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang muncoba mempelajari hakikat
bahasa, atruktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu
bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa
yang namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan
linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.
C. Psikolinguistik
Psikolinguistik terbentuk dari kata
psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing
– masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun,
keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya materinya
yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji
perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya
juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda,
tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama
dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian
kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan.
Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara
kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama
kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan
lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang baik,
lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu
disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu
antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik
itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku psycholinguistics
: A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E.
Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan
proses – proses psikologi yang berlangsung
jika seseorang
mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan
bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller,
1964; Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik
adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan
secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan
kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan
bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu.
Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan
psikologi pada masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa,
pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan
kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta
masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan
pendidikan,
bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.
D. Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah psikolinguistik
baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok dan Charles E.
Osgood yang berjudul Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and
Research Problems, namun sebenarnya sejak zaman panini, ahli bahasa
dari India, dan Sokrates ahli filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah
dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari paham/aliran filsafat yang
mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua aliran
filsafat yang saling bertentangan dan saling memengaruhi perkembangan
linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme yang erat
kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap
data empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur –
unsur pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran
ini disebut bersifat atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan
positivisme.
Aliran kedua dikenal dengan nama rasionalisme.
Aliran ini mengkaji akal sebagai satu keseluruhan dan menyatakan bahwa faktor –
faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami
perilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik,
dan biasa dikaitkan dengan paham nativisme, idealisme, dan
mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari adanya
pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang
berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerjasama antara pakar
linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar – pakar
psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
a. Psikologi dalam
Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada sejumlah
pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Von Humboldt
(1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah mencoba mengkaji
hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia (psikologi).
Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa yang berlainan
dengan tabiat – tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt sangat
dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu
yang sudah siap untuk dipotong – potong dan diklasifikasikan seperti aliran
empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang
memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure (1858-1913),
pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa
sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa itu dalam otak
(psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage
(bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu
yang bersifat abstrak), dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat
konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistik adalah langue.,
sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin
mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan
psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala
sesuatu yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar
linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi
dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat memberikan dasar ilmiah
yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa
(linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan
bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur
pemikiran manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan
sumbangan yang penting kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi
Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.
b. Linguistik
dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi
ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik. John Dewey
(1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni.
Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan
analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip – prinsip
psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata
– kata yang diucapkan kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang
dipahami kanak – kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan
bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdassarkan
prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata – kata
berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata berkelas nomina
dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan
pemahaman kanak – kanak kita akan dapat menentukan kecenderungan akal (mental)
kanak – kanak yang dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan linguistik.
Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang besar kepaada
psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli psikologi
behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan
berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan,
dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang
implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang
berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku berbahasa itu dengan
teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh Povlov. Maka, penyamaan
ini memperlakukan kata – kata sama dengan benda – benda lain sebagai respons
dari suatu stimulus.
Weiss, ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental
dalm bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka
wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih
cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk perilaku apabila
seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah
seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya
psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari
penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga
telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan
psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu
adalah sebagai berikut :
- Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
- Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi gerak saraf.
- Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
- Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons terhadap satu stimulus.
- Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c. Kerjasama
Psikologi dan Linguistik
Kerjasama secara langsung antara
linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman
Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan
Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi
dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi
bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik menurut
beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok diatas adalah
berikut ini :
- Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
- Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
- Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
d. Tiga Generasi
dalam Psikolinguistik
1. Psikolinguistik
Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah
psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan
berjudul psycholinguistics: A Survey of Theory and Reserch Problems yang
disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang Osgood dan
Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih
tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa
sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus
verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini adalah orientasi
psikologi.
Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh
linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme
dalam analisis bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat
bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir telah
dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab itu, kemampuan berbahasa
didapat atau dicapai melalui proses belajar. Hal ini menunjukkan bahwa itu
harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan
hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik
generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner.
Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut
aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah
yang dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.
2. Psikolinguistik
Generasi Kedua
Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah
proses berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan
teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik
generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua
telah dapat mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok.
Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa
bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem
kaidahlah yang diperoleh.
3. Psikolinguistik
Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G.
Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics diberi
nama New Psycholinguistics. Ciri – ciri psikolinguistik generasi
ketiga ini adalah sebagai berikut :
Pertama,
orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka
berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al
Vallon dari perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni
Sovyet atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang
serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
Kedua,
keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan
dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti,
analisis psikolinguistik bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara
struktur gramatikal dan kaidah semantik model Noam Chomsky dengan teori
generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan
situasi dan konteks.
Ketiga,
adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke
satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari
ujaran yang abstrak ke komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner
dalam artikelnya berjudul Frol Communication to Language yang dimuat dalam
Cognition tahun 1974-5.
Ketiga
ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah
terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara
– negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan
linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang
karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus
komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.
E. Aliran-aliran Psikolinguistik
1)
Aliran
Behavioristik
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon
B.Watson (1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan
amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah
diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama
psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan
sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah
benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan
(stimulus) dan gerak balas(respons) [1][1].
Eksperimen yang dilakukan oleh Watson dalam membuktikan
kebenaran teori behaviorismenya terhadap manusia adalah percobaan terhadap bayi
yang bernama albert berusia 11 tahun dan tikus putih. Dimana kesimpulan
akhirnya adalah pelaziman dapat merubah prilaku seseorang secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus
respon, Watson mengemukakan dua hal penting:
1. Recency
Principle (prinsip
kebaruan)
Yaitu Jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons,
maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila
diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan
umpan setelah lama berselang.
2. Frequency Principle (prinsip frekuensi)
Menurut prinsip ini apabila suatu stimulus dibuat lebih
sering menimbulkan satu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan
respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.
Selain itu. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya
kesadaran berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul.
Magis-magis senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah
membuat kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit.
Kriteria Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah
berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.
Selanjutnya Bell (1981:
24)
mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas
pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1. Dalam upaya
menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli
psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan
dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak
diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
2. Pembelajaran
itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
3. Respon yang
dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
4. Kebiasaan
diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga
respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.
2)
Aliran
Kognitif
Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang
terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif. Bahasa di instruksikan oleh nalar. Perkembangan bahasa
harus berlandaskan pada percobaan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam
kognisi. Jadi urutan-urutan perkembnagan kognitif menentukan perkembangan
bahasaMenurut teori kognitif yang utama sekali harus dicapai adalah
perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk
keterampilan berbahasa semenjak lahir sampai umur 18 bulan bahasa belum ada, si
anak memahami dunia melalui indranya.
Adapun tokoh yang terkenal dengan teori kognitif ini adalah Noam
Chomsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan akal yang berisi
pengetahuan batin yang berkait dengan sejumlah bidang yang berbeda-beda. Salah
satu dari pengetahuan tersebut berkait dengan bahasa. Chomsky menyebut
pengetahuan batin yang berkait dengan bahasa ini sebagai Language
Acquisition Device atau yang lebih populer sebagai LAD, yang dalam modul
disebut sebagai Alat Pemerolehan Bahasa atau APB. Chomsky berpendapat
bahwa daya-daya dalam bidang yang berbeda yang disebut di atas, relatif mandiri
satu sama lain. Artinya tidak saling berkait. Bahkan dalam kaitan dengan
pemerolehan bahasa, Chomsky berpendapat bahwa bagi pemerolehan bahasa,
pengetahuan batin saja sudah cukup dan pengetahuan matematis serta pengetahuan
logika tidak diperlukan dalam kegiatan ini.
Masih menurut Chomsky behaviorisme (S-R), sangat tidak
memadai untuk menerangkan proses pemerolejhan bahasa. Sebab masukan data
linguistiknya sangat sedikit untuk membangkitkan rumus-rumus linguistic. pada bagian akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen
yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk
empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak
sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan
pemerolehan bahasa anak.
3)
Aliran
Mentalistik
Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah
konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan
merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara
mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam
kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum
mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda
dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai
dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin
menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini
berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa
merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa
pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat
dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin
atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa
manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian,
mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada
di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari
pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di
dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran
ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti.
Kemudian, diketengahkan pembahasan
mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris
dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang
berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris,
yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal
manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga
bersifat fisik.
PENUTUP
- Kesimpulan
Teori/Aliran Behavioristik tujuan utama psikologi adalah
membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada
hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang
diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons)
Teori Kognitif berpandangan Menurut teori ini
bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara
beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif
Kaum mentalis berpendapat seorang manusia
dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang
tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang
berinteraksi satu sama lain,
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa
Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mar’at,
Samsunuwiyati. 2009. Psikolingustik Suatu Pengantar. Jakarta: Refika Aditama.
[1]
http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/
OLEH PAKDE SOFA
http.//www.scrib.com
B. Bahasa dan
Berbahasa
Bahasa dan berbahasa, adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal
yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses
penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu. Pada bagian awal telah dikatakan
bahwa bahasa adalah objek kajian linguistik, sedangkan berbahasa adalah objek
kajian psikologi.
Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendenifisikan bahasa sebagai satu
sistem lambang bunyi yang bersisaf arbitrer. Yang kemudian lazim ditambah
dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan
menidentifikasikan diri. (Chaer,1994).
Bagian pertama definisi diatas menyatakan bahwa bahasa itu adalah satu sistem,
sama dengan sistem – sistem lain, yang sekaligus berifat sistematis dan
bersifat sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal
melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (subsistem fonologi, sintaksis,
leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem
lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa
ini adalah bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi adalah bunyi bahasa
yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Sama dengan lambang lain. Sistem lambang
bahasa ini juga bersifat atbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi
itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya.
Bahasa dilihat dari segi sosial yaitu, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi
atau alat komunikasi didalam masyarakat. Tentu saja konsep linguiatik
ddeskriptif tentang bahasa itu tidak lengkap, sebab bahasa bukan hanya alat
interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam berbagai bidang lain.
Oleh karena itu psikologi, antripologi, etnologi, neurologi, dan filologi juga
menjadikan bahasa sebagai salah satu objek kajiannya dari sudut atau segi yang
berbeda – beda.
a. Gangguan
Berbahasa
Manusia yang normal fungsi otak dan alt bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan
baik. Namun, meraka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya,
tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif mauoun reseptif.
Jadi, kemempuan berbahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Gangguan akibat faktor medis, adalah
gangguan baik akibat gangguan otak maupun akibat kelainan alat – alat bicara.
2.
Gangguan akibat faktor lingkungan
sosial, adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti
tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang
sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa
dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu :
Gangguan berbicara
Gangguan berbahasa
Gangguan berpikir
Ketiga gangguan ini masih dapat diatasi kalau penderita
gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak tentu menjadi sukar
atau sangat sukar.
b. Gangguan
Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh
karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokan ke dalam dua kategori,
yaitu :
1. Gangguan
Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adlah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh
kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot – otot yang membentuk rongga
mulut serta kerongkongan, dan paru – paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan
mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada
paru – paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan
pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
− Gangguan Akibat
Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita
penyakit paru – paru. Para penderita penyakit paru – paru ini kekuatan
bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang
monoton, volume suara yang kecil sekali, dan berputus – putus, meskipun dari
semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
− Gangguan Akibat
Faktor Laringal
Gangguan pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan
menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor
laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan
semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis
ucapannya bisa diterima.
− Gangguan akibat
Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan
terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa padih ini ketika
berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam
keadaan sepperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna.
Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah maka lidahnya pu
lmpauk sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu
menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti tergangguanya
artikulasi).
− Gangguan Akibat
Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara
yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya
menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan
untuk berkomunikasi melalui defek di langit – langit keras (palatum), sehingga
resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini trjadi juga pada orang
yang mengalami kelumpuhan pada langit – langit lunak (velum). Rongga langit –
langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suarnya menjadi
besengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot
menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kengauan
ini.
2. Gangguan Akibat
Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau
berbagai faktor bisa mnyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara
lain adalah :
− Berbicara
Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara
denga cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan
sejumlah suku kata, sehingga apa yang di ucapkan sukar dipahami. Dalam
kehidupan sehari – hari kasus ini memang jarang dijumpai, tetapi di dalam
praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat ”kemarin pagi saya sudah
beberapa kali ke sini ” diucapkan dengan cepat menjadi ”kemary sdada brali
ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa jug
terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
− Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biassanya terdapat pada para
penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi
gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah
dalam melakukan geraka – gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu
gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus – menerus tanpa henti.
Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini
akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot
wajah, dan pita suara, sebagaian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya
kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula – mula tersendat – sendat,
kemudian terus – menerus, dan akhirnya tersendat – sendat kembali. Oleh karena
itu, cara berbicara seperti ini disebut prupilsif.
− Berbicara Mutis
(Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama
sekali. Sebagian dari meraka mungkin dapat dianggap membisu, yakni memang
sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat
berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tiak dapat berkomunikasi secara
visual maupun isyarat, seperti dengan gerak – gerik dan sebagainya.
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi
dengan bisu – tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adnya
tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan ataua kelainan
alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa, tetapi alat
dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua,
orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat
pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak
bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya
alat artikulasinya normal tidak ada kelainan, tetapi alat pendengarannya rusak
atau ada kelainan. Orang golongan ketiga iini menjadi bisu karena dia tidak
pernah mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan
ujaran-bahasa itu.
3. Gangguan Psikogenik
Ganguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu
gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang
normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas
mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagaian besar ditentukan oleh nada,
inotonassi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yanng
berirama lancar atau tersendat –sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si
pembicara. Gangguan berbicara psikogenetik ini antara lain sebagai berikut :
w Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melkaukanya meminta
perhatian untuk dimanja. Umpamanya kanak yang baru terjatu, terluka, atau
mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem
atau bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehinga kalimat ”saya sakit, jadi
tidak suka makan, sudah saja ya” akan diucapkan menjadi ”caya cakit, jadi tidak
cuka makan, cudah saja ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan
keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua
pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur
bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana struktur organisasinya
belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.
w Berbicara
Kemayu
Berbicara
kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria
bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan
oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah
yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjok atau
ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang. Meskipun berbicara seperti ini bukan
suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom
fonologik yang mengungkapakan gangguan identitas kelamin terutama jika yang
dilanda adalah kaum pria.
w Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat – sendat, mendadak
berhenti, lalu mengulang – ulang suku kata pertama, kata – kata berikutnya, dan
setelah berhasil mengucapkan kata – kata itu kalimat dapat diselesaikan.
Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah
payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih
kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah
payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si
pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya. Beberapa hal dianggap
mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan, yaitu :
§ Faktor – faktor
stres dalam kehidupan berkeluarga
§ Pendidikan anak
yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta tidak
mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
§ Adanya faktor
kerusakan pada belahan otak yang dominan
§ Faktor neurotik
famial
w Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa
yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya latah adalah sindrom yang terdiri
atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (kaprolalla) dan gangguan
lokomotorik yang dapat dipancing. Kaprolalla pada latah ini beroriantaasi pada
alat kelaminlaki – laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah adalah orang
perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut
mereka yang terserang latah, adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali
penis lelaki besar dan sepanjang belut. Latah ini punya cuse atau alasan untuk
dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang hakikatnya berimplikasi
invitasi seksual.
w Gangguan
Berbahasa
Berbahasa, berarti berkomunikasi dengan
menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan
mengeluarkan kata – kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus
berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
a.
Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi – sandi perkataan adalah di
korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan
ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal ini
masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal
tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih dilakukan.
b.
Afasia Motorik Subkortikal
Sandi – sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan daerah Broca, maka
apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya semua perkataan masih tersimpan
utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena
hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat
disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan
masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca)
sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan mengeluarkan isi pikirannya
dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan
cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu,
dan ekspresi visual pun berjalan normal.
c.
Afasia Motorik Transkortikal
Afasia motorik trankortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah
Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan
ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini
merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita
afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan
tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya.
Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap tidak berdaya, karena
keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan
untuk melakukannya tidak ada sama sekali. Mereka pun sering jengkel karena apa
yang diekspressikantidak dipahami sama sekali oleh orang disekelilingnya,
padahal untuk menghasilkan curah verbal yang tidak dipahami itu, mereka sudah
berusaha keras.
d. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada
lesikortikal didaerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu
terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah
motorik, dan daerah pendengaran. Keruskan di daerah Wernicke ini menyebabkan
bukan saja pengertian dari apa yang dilihatikut terganggu. Jadi, penderita
afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun,
diamasih memiliiki curah verbal meskipun hal ini tidak dipahami oleh dirinya
sendiri, maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipakami oleh
siapapun. Curah verbalnya itu sendiri terdiri dari kata – kata, ada yang mirip,
ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa., tetapi kebanyakan tidak sama
atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai
dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar – wajar saja, seakan –
akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa,
tidak tegang, marah, atau depresi. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun
apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dipahaminya.
4. Gangguan
Berpikir
Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setisp orang mempunyai kecenderungan
untuk menggunakan perkataan – perkataan yang disukainya sehingga corak
bahasanya adalah khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut
idiolek, atau ragam bahasa perseorangan.
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis,
dan semantik tertentu seseotang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada
kata – kata dan kalimat – kalimat yang dibuatnya. Hal ini berarti, setiap orang
memproyeksikan kepribadiannya pada gaya bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa
ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam
gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan
bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran
yang terganggu pikiran berupa hal – hal berikut :
a. Pikun
(Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan bnyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia,
amnesia, perubahan kepribadian, perubhan perilaku, dan kemunduran dalam segala
macam fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berfikir,
sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata – kata
yang tepat. Kalimat seringkali terputus karena arah pembicaraan tidak teringat
atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke topik lain.
Dr. Martina Wiwie S. Nasrun mengtakan bahwa kepikunan atau demensia adalah
suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari
hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi tergangguanya
ingatan jangka pendek, kekeliruan mengetahui tempat, orang, dan waktu. Juga
gangguan kelancaran bicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah
besar, termasuk menurunnya jumlah zat – zat kimia dalam otak. Biasanya volime
otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga – rongga dalam otak melebar.
Selai itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak,
depresi dan gangguam sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan
sistemik dapat pulih kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak
dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para
penderita sisofrenik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para
penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar. Dengan volume
yang cukup, ataupun lemeh sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata – kata
neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Penderita sisifrenia dapat berbicara terus – menerus. Ocehanya hanya merupakan
ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit – sedikit atau dikurangi
beberapa kalimat. Gya bahasa sisifren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan
menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa
sisofrenia halusinasi dan pasca halusinasi.
Sebelum diganggu halisinasi, bahasa
para penderita sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita
sisofrenia ini mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia
luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas,
tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran diri
sendiri)sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia
tahap awal ini menyerupai mutisme efektif.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya
dan makna curah verbalnya. Volume
curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus – putus oleh interval
yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran
bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan napas keluar yang
panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah
universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan,
menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah
hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.
d. Gangguan
Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia,
yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia.
Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakkukan dengan sengaja (sebagai
eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia,
melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli.
Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam
masyarakat manusia. Maka, meskipun dia terassing dari kontak bahasa,
tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak
terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah
mendengar suara-ujaran manusia. Beda antara anak terasing yang tidak pernah
mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa anak tuli dirugikan karena
tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang lain. Suara – suaranya
sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak – gerak urat dan otot ddaging mulut.
Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan anak yang tidak
tuli. Suara – suara anak tuli lekas sekali berhenti, meskipun ia tetap mampu
merasakan gerakan mulut dan suara – suaranya waktu sedang mengeluarkan suara
itu. Dia merassakan gerak mulut itu karena adanya rasa akan getaran – getaran
organ – organ pembentuk suara, atau karena dia melihat gerak mulut oranng lain
dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar
suara – suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak normal yang
tercerai dari masyarakat. Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi ia tidak
pernah mendengar suara 9perkataan) orang dari sekeliling anak itu sangat
berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa
orang sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat berkembang. Jadi anak
terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sodial
masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa.
Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang
membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka, sebenarnya anak terasing,
yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada
hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia
tetapi dia tidak bermatabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang
sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya
menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak
sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu
masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam
suatu lingkungan sosial. Kanak – kanak mempunyai segala kemungkinan untuk
menjadi manusia hanya selama masa kanak – kanak, selepas umur tujuh tahun anak
itu tak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh
hewan (serigala) maupun yang teraasingkan oleh keluarganya, berikut akan
dikemukakan dua contoh kasus:
1. Kasus Kamala
Ketika baru ditemukan Kamala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur
2 tahun. Kamala masih hidup sampai 9 tahun kemudian sedangkan adiknya tak lama
ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan
serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangan, mengaum-aum,
lebih sering bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah kata pun, dan
tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajar dia
berdiri, berjalan, menggunakan tangan, apalagi bercakap – cakap. Dia mencium –
cium, dan mengendus – endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat
penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam, dan memiliki pendengaran
yang tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tertawa.
Hidup ditengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun, hal ini
membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan
serigala secara mengagumkan. Berbeda halnya dengan binatang yang dijinakkan dan
dimanusiakan, binatang tetap tidak dapat mempelajari bahasa yang sebenarnya.
Tingkat kecerdasan Kamala tidak diketahui hingga dia meninggal, sebab dia tidak
pernah dites dengan tes – tes objektif yang memungkinkan kita mengetahui apakah
kecerdasan praktis Kamala yang terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari
kecerdasan seorang anak yang tidak bercakap atau dari seekor kera. Namun,
bagaimana pun Kamala tidak lagi mempunyai pikiran yang sebenarnya, pikiran yang
reflektif.
2. Kasus Genie
Kalau Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau
dibesarkan di tengah – tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam asuhan
orang tuanya, tetapi dengan cra yang terlepas dari kehidupan manusia yang
wajar. Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup
terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat.
Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio
atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara apapun. Ayahnya tidak
mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila
membuat suara. Satu –saatunya orang yang sering ditemuinya adalah ibunya.
Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama – lama dengan Genie saat
memberinya makan. Tanpa berbicara apa – apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu
tergesa – gesa.
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat
secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa
(berbicara). Dia dikirim ke rumah anak – anak Los Angeles dengan diagnosis awal
sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.
Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak
mampu menggunakan bahasa. Namun, dari evaluasi perawatan bulan – bulan pertama
didapat kesimpulan bahwa Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya
tidak seperti anak lemah mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara
emisional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat
memperkuat ketrbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya
tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat
berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia
sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian
tes. Dari tes awal diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata – kata lepas
yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gramatika.
Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh
bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan menunjukkan
bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati
masa kritis pemerolehan bahasa.
Seperti teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap
untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak – kanak hingga masa
puber, atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil
balig. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa
kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam
banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama
kanak – kanak yang normal.
Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki fasilitas
bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk
fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia mempunyai
keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat – isyarat verbal maupun
nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie
menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat
hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.
Dari kasus Kamala dan Genie sebagai contoh kanak – kanak yang mendapat
kesulitan berbahasa karena terasingkan dari lingkungannya, memang bisa dilihat
adanya satu hal yang sangat berbeda. Kamala terasing dari lingkungan sosial
manusia sejak bayi, sehingga dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk
berbahasa. Sedangkan Genie memang terasing tetapi masih berada dalam lingkungan
sosial manusia, maka meskipun dengan sangat sukar dia kemudian masih memiliki
kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan permulaan.
C. Pemerolehan
Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa
adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak – kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi
ketika seorang kanak – kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu,
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak
disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses
performasi yang terdiri dari dua buah proses, yakni :
− Proses
pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan
mempersepsikan kalimat – kalimat yang didengar.
− Penerbitan
melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat – kalimat sendiri.
Kedua proses ini merupakan dua proses
yang berlainan dan apabila telah dikuasai kanak – kanak akan menjadi kemampuan
linguistik kanak – kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan
memahami dan kemampuanmelahirkan atau menerbitkan kalimat – kalimat baru yang
dalam linguistik transpormasi generatis disebut perlakuan, atau pelaksanaan
bahasa, atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky,
kompetensi itu mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu :
a. Komponen
Sintaksis, merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat. Sintaksis
adalah urutan dan organisasi kata – kata (leksikon) yang membentuk frase atau
kalimat dalam suatu bahasa.tugas utama komponen ini adalah menentukan hubungan
antara pola – pola bunyi bahasa itu dengan makna – maknanya dengan cara
mengatur urutan kata – kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai
dengan makna yang diinginan oleh penuturnya,
b. Komponen
Semantik, sebagai komponen dalam otak yang terpisah dari komponen sintaksis
dengan garis yang tegas. Namun, sejumlah pakar pengikut generatif transformasi
yang lain menganggap kedua komponen itu, sintaksis dan semantik, tidak
mempunyai garis pemisah yang tegas.
c. Komponen
Fonologi, adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen fonologi ini, sebagai
komponen ketiga dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus – rumus
fonologi yang bertugas mengubah struktur luar sintaksis menjadi representasi
fonetik yaitu bunyi – bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang
penutur.
Oleh karena itu, pemerolehan bahasa ini
lazim juga dibagi menjadi pemerolehan sintaksis, pemerolehan semntik, dan
pemerolehan fonologi.
1.
Hipotesis Nurani
Hipotesis nurani dari beberapa pengamatan yang dilakukan
para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak – kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky,
1970). Diantara pengamatan itu adalah :
− Semua kanak –
kanak yang normak akan memperoleh bahasa ibunya asal saja ”diperkenalkan” pada
bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya
(keluarganya).
− Pemerolehan
bahasa tidak ada hubungannya dengan keceerdasan kanak – kanak. Artinya, baik
anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
− Kalimat –
kalimat yang diajarkan kanak – kanak seringkali tidak lengkap, dan jumlahnya
sedikit.
− Bahasa tidak
dapat diajarkan kepada mekhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
− Proses
pemerolehan bahasa oleh kanak – kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat
kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak – kanak.
− Struktur bahasa
sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak –
kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau
empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat
disimpulkan bahwa manusia berbahasa dengan mudah dan cepat. Mengenai hipotesis
nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang
dimiliki setiap kanak – kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu
namanya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk
memungkinkan seorang kanak – kanak memperoleh bahasa ibunya.
2.
Hipotesis Tabularasa
Tabularas secara harfiah berarti
”kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa – apa. Lalu, hipotesis tabularas
ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas
kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman – pengalaman.
Hipotesis ini dengan pada mulanya dikemukakan oleh Jhon Locke seorang tokom
empiris yang sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluskan oleh Jhon
Watson seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Dalam hal ini, menurut hipotesis
tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku
berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa – peristiwa
linguiatik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis
ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguitik terdiri hanya dari
rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran stimulus –
respons.
3.
Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis
kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget telah digunakan sebagai
dasar untuk menjelaskan proses – proses pemerolehan bahasa kanak – kanak.
Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori
mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu
bagian dari perkembangan kognitif (intelek)secara umum.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan
kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur – struktur kognitif deriamor.
Struktur – struktur ini diperoleh kanak – kanak melalui interaksi dengan benda
– benda atau orang – orang di sekitarnya.
D. Pembelajaran
Bahasa
Digunakannya istilah pembelajaran
bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses
belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan
bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah, secara tidak
sadar didalam lingkungan keluarga pengasuh kanak – kanak itu. Bahasa kedua juga
merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan
formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan.
a. Dua tipe
pembelajaran bahasa
Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe
pembelajaran bahsa yaitu:
− Tipe
Naturalistik, bersifat alamiah tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran
berlangsung didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat
bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai.seorang kanak –
kanak yang didalam lingkungan keluarganya menggunakan B1, misalnya bahasa X,
begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman – teman lain yang berbahasa
lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahsaa Y.
− Tipe formal
berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat – alat bantu belajar
yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam
kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.
b. Hipotesis – hipotesis
pembelajaran bahasa
Hasil yang telah dicapai oleh para
pakar pembelajaran bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut
sebagai teori karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih
umum disebut sebagai suatu hipotesis. Diantara hipotesis – hipotesia yang
diketengahkan adalah :
1
Hipotesis Kesamaan Antara B1 dan B2
Hipotesis ini menyatakan adanya
kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. kesamaan itu terletak pada
urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi, negasi, dan
moorfem – morfem grgamatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur – unsur
bahasa bahasa diperoleh terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain
diperoleh baru kemudian. Studi tentang ururtan pemerolehan morfem gramatika
bahasa Inggris telah membuktikan hal ini (Nurhadi, 1990:5). Namun, dalam hal
penguasaan lafal, kanak – kanak dapat menguasai B1 denan pelafalan yang baik
dan secara alami, ssedangkan B2 dapat dikuasai dengan pelafalan yang kurang
sempurna.
2
Hipotesis Kontrastif
Hipotesis ini juga menyatakan bahwa
seorang pembelajaran bahasa kedua seringkali melakukan transfer B1 ke dalam B2
dalam menyampaikan suatu gagasan. Transfer ini dapat terjadi pada semua tingkat
kebahasaan : tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, maupun tata kata
(leksikon). Dalam hal ini bisa terjadi transfer positif, yakni kalau struktur
B1 dan B2 itu sama, dan ini akan menimbulkan kemudahan. Dapat juga terjadi
transfer negatif, yakni kalau struktur B1 dan B2 itu tidak sama dan ini akan
menimbulkan kesuliatan.
3
Hipotesis Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan
bahasa, Stephen Ktashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling
berkaitan, yaitu :
−
Hipotesis
Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis ini dalam penguasaan suatu bahasa perlu
dibedakan adanya pemerolehan (acquisition) dan belajaar (learning). Pemerolehan
adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah, dan
terjaadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak melaui usaha
belajar adalah uusaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai bahasa
yang dipelajari, terutama yang berkenan dengan kaidah – kaidah bahasa. Belajar
terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
−
Hipotesis
Urutan Alamiah
Hippotesis ini menyatakan bahwa dalam proses pemerolehan
bahasa kanak – kanak memperolsh unsur - unsur bahasa menurut urutan tertentu
yang dapat diprediksikan. Ururtan ini bersifat alamiah. Hasil penelitian
menunjukan adanya pola pemerolehan unsur – unsur bahasa yang relatif stabil
untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
−
Hipotesis
Monitor
Hipotesis monitor ini menyatakan adanya hubungan antara
proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar
dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Kita dapat berbicara dalam
bahasa tertentu adalah karena sistem yang kita miliki sebagai hasil dari
pemerolehan, dan bukan dari hasil belajar. Semua kaidah tata bahasa yang
dihafalkan tidak semua membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata bahasa
yang kita kuasai hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam pelaksanaan
(performasi) berbahasa.
−
Hipotesis
Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa
melaui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan
atau isi, dan bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa
maupun kanak – kanak, yang sedang belajar bahasa. Hipotesis ii menyatakan bahwa
kegiatan mendengarkan untuk memehami isi wacana sangat penting dalam proses n
dengngpemerolehan bahasa, dan penguasaan bahasa secara aktif akan datang pada
waktunya nanti.
−
Hipotesis
Afektif (sikap)
Hipotesis ini menyatakan bahwa orang dengan kepribadian
dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih baik
dibandingkan orang dengan kepribasian yang agak tertutup.
−
Hipotesis
Pembawaan
Hipotesis ini menyatakan bahwa bakat bahasa mempunyai
hubungan yang jekas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen
menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa
kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar. Mereka yang menda[at nilai tinggi
dalam tes bakat bahasa, pada umumnya berhasil baik dalam tes tata bahasa. Jadi,
asprk ini banyak berkaitan dengan belajar, dan bukan dengan pemerolehan.
−
Hipotesis
Filter Afektif
Hipotesis ini menyatakan bahwa sebuah filter yang
bersifat afektif dapat menahan masukan sehinngga seseorang tidak atau kurang
berhasil dalam usahanya untuk memperileh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa
kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensi dan
sebagainya, yang dapat mengurangu kesempatan bagi masukan untuk masuk kedalam
sistem bahasa yang dimiliki seseorang. Filter afektif ini lazim juga disebut
menal block.
−
Hipotesis
Bahasa Pertama
Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa pertama anak akan
digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa
kedua belum tampak. Jika seseorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa
kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia
akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa kedua, maka dia akan
menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya. Oleh karena itu,
sebaiknya guru tidak memaksa siswanya untuk menggunakan bahasa kedua yang sedang
dipelajarinya. Berilah kesempatan pada anak untuk mendapatkan input yang
bermakna dan untuk mengurangi filter afektifnya. Dengan demikian, penguassan
bahasa kedua dengan sendirinya akan berkembang pada waktunya.
−
Hipotesis
Variasi Individual Penggunaan Monitor
Hipotesis ini menyatakan bahwa cara seseorang memoonitor
penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yang erus –
menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah
menggunakannya. Namun, di antara keduanya ada pula yang menggunakan monitor itu
sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
4
Hipotesis Bahasa-Antara
Bahasa antara (interlanguage) adalah
bahasa/ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahassa kedua pada satu
tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna
bahasa kedua itu. Bahsa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan ciri
bahassa kedua. Bahsa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri
yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Tampaknya semacam
perpindahan dari bahasa ke bahasa kedua.
5
Hipotesis
Pijinisasi
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses belajar
bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara terbentuk juga yangg
disebut bahasa pijin, yaitu sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok
masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada didalam dua bahasa tertentu.
Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing
– masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak
memiliki penutur asli (Chaer dan Agustina, 1995)
c.
Faktor – Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
1.
Faktor Motivasi
Dalam kaitannya dengn pembelajaran
bahasa kedua, motivasi itu mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi integritas
adalah mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya
keinginan untuk berkomunikasi dengan mempelajari suatu bahasa karena addanya
keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi
anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan motivasi berfungsi instrumental
adalah kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kamauan untuk
mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan
ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas
masyarakat tersebut (Gardner dan Lambert, 1972:3)
2.
Faktor usia
Ada anggapan umum dalm pembelajar
bahasa kedua bahwa abak – anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran
bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak – anak tampaknya lebih
mudah dalam memperolah bahasa baru, sedangkan orang tua tampaknya mendapat
kesulitan dalam memperolah tingkat kemahiran bahasa kedua.
3.
Faktor
Penyajian Formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara
formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam
memperoleh bahassa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah disiapkan
dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan lingkungan pembelajar bahasa
kedua secara formal, didalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan
pembelajaran bahasa kedua secara naturalistik atau alami.
4.
Faktor bahasa
pertama
Para pakar pembelajar bahasa kedua pada umumnya percaya
bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua
pembelajaran. Bahasa pertama ini telah lama dianggap menjadi pengganggu di alam
proses pembelajaran bahsa kedua. Hal ini karena biasa terjadi seorang
pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur – unsur bahasa
pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah yang disebut
interferensi, alih kode, campur kode, atau kekhilafan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak-anak normal memperoleh bahasa
secara alamiah dan mampu mengikuti pembelajaran bahasa. Namun, sebagian lainnya
karena berbagai sebab mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa dan
pembelajaran bahasa. Padahal bahasa adalah salah satu aspek penting bagi
manusia untuk dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan memperoleh ilmu
dalam pendidikan, serta digunakan dalam komunikasi dengan lingkungan sekitar.
B. Saran
Perlu adanya perhatian khusus dalam pemerolehan bahasa ibu, bahasa kedua, dan
selanjutnya. Penggunaan istilah bahasa ibu perlu dilakukan dengan hati – hati
sebab banyak kasus terjadi, terutama dikota besar yang multilingual. Dengan
banyaknya kasus yang terjadi maka, dengan penggunaan istilah bahasa pertama
akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik kajian teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta.
1
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLINGUISTIK
Oleh Suci Sundusiah
1. Pendahuluan
Pada awalnya, psikolinguistik bukanlah ilmu mandiri yang dikaji
secara khusus. Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik
oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah psikolinguistik sendiri
pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun
1954 pada sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research
Problems. Walaupun
sebetulnya, pengkajian ilmunya telah dimulai sejak zaman Sokrates dan Panini.
Dua aliran filsafat, yakni empirisme dan rasionalisme turut berkontribusi dalam
perkembangan pemikiran para ilmuan di dua ranah ilmu tadi. Filsafat empirisme
mengagnggap bahwa ilmu merupakan objek kajian yang dapat dikenali secara
inderawi. Filsafat ini erat kaitannnya dengan psikologi asosiasi. Aliran ini
mengkaji objek ilmu dengan menganalisis unsur-unsur pembentuknya sampai
sekecil-kecilnya. Aliran filsafat rasionalisme mengkaji bahwa akal sebagai
faktor yang harus dikaji agar memahami perilaku manusia. Turunan aliran
rasionalisme ini adalah faham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
2. Psikologi dalam Linguistik
Beberapa tokoh linguistik yang tertarik untuk mengkaji bahasa
secara psikologi adalah Von Humbolt, Ferdinand de Saussure, Edward Sapir,
Leonard Bloomfield, dan Otto Jespersen.
Von Humbolt (1767-1835) ialah ahli linguitik asal Jeman yang
membandingkan tatabahasa antar bahasa yang berlainan dengan tabiat penutur
bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tatabahasa suatu
2
bangsa menunjukkan pandangan hidup bangsa tersebut. Von Humbolt
sangat dipengaruhi aliran rasionalisme yang menganggap bahwa bahasa adalah
bagian yang tidak dapat dipotong-potong atau diklasifikasikan seperti pada
pendapat aliran empirisme. Ferdinand
de Saussure (1858-1913), dalam
perkuliahannya memperkenalkan tiga istilah penting dalam linguistik, yaitu langue, langage dan parole. Langue bermakna
bahasa tertentu yang masih bersifat abstrak, langage bermakna bahasa yang bersifat umum,
sedangkan parole
merupakan bahasa tuturan secara konkret.
Saussure menegaskan bahwa kajian linguistik adalah langue, sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Oleh karena itu, linguis berkebangsaan
Swiss ini berpendapat, jika ingin mengkaji bahasa secara utuh, maka ilmu yang
dapat mengkajinya adalah linguistik dan psikologi. Edward Sapir (1884-1939), mengkaji hubungan antara bahasa dengan
pikiran. Berdasarkan kajiannya, linguis dan antropologis asal Amerika ini
berkesimpulan bahwa bahasa terutama strukturnya merupakan unsur yang mennetukan
struktur pikiran manusia. Dia pun menambahkan bahwa linguistik dapat
berkontribusi pada teori psikologi Gestalt, begitu pula sebaliknya. Leonard Bloomfield (1887-1949), pada perkembangan ilmunya banyak
dipengaruhi oleh dua aliran psikologi yang bertentangan, yakni behaviorisme dan
mentalisme. Pada awalnya, linguis Amerika ini mengkaji bahasa dengan pendekatan
mentalisme. Dia berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan pengalaman
luar biasa , terutama karena penjelmaan tekanan emosi yang sangat kuat. Karena
tekanan emosi itulah maka akan keluar ucapan atau kalimat berbentuk eklamasi, lalu keluar keinginan berkomunikasi
berupa deklarasi.
Jika keinginan deklasi ini keluar dalam
bentuk keingintahuan maka keluarlah interogasi. Pada
tahun 1925 Bloomfield meninggalkan aliran empirisme dan beralih pada aliran
behaviorisme, yang memunculkan teori bahasa “linguistik struktural” dan
“linguistik taksonomi”.
3
Otto Jesperson, beraliran mentalistik dan berbau
behaviorisme. Jesperson berpendapat bahwa bahasa bukanlah suatu wujud
pengertian satu benda tetapi merupakan fungsi-fungsi lambang di dalam otak
manusia yang melambangkan pikiran. Menurutnya, satu kata pun dapat diwujudkan
dalam perilaku.
3. Linguistik dalam Psikologi
Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga
mengkaji psikologi secara linguistis. Pakar-pakar itu adalah John Dewey, Karl
Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss. John Dewey (1859-1952) merupakan psikolog kebangsaan Amerika yang menganut empirisme
murni. Beliau menafsirkan bahasa kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip
psikologi. Beliau menyarankan agar penggolongan kata-kata untuk anak-anak
berdasarkan pada makna yang dipahami anak-anak. Karl Buchler, ialah pakar psilogi kebangsaan Jerman.
Beliau menulis buku berjudul Sparch Theorie (1934)
yang menyatakan bahwa bahasa manusia memiliki tiga fungsi yang disebut Organon Modell der Saprch yaitu Kungabe (Ausdruck) Appell
(Auslosung) dan Darstellung. Kungabe adalah tindakan komunikatif berwujud
verbal. Appell
adalah permintaan yang ditujukan kepada
orang lain. Darstellung
adalah penggambaran masalah pokok yang
dikomunikasikan.
Wundt (1932-1920), ialah pakar psikologi Jerman yang
pertama kali mengembangkan teori mentalistik bahasa. Wundt mengjelaskan bahasa
alat untuk melahirkan pikiran. Hal ini terjadi karena terdapat
perasaan-perasaan serta gerak-gerak yang melahirkan bahasa secara tidak sadar.
Menurut Wund, satu kalimat merupakan suatu kejadian akal yang terjadi secara
serempak. Wundt pun terkenal dengan teori performansi bahasa (language
4
performance). Teori ini menjelaskan dua aspek, yakni
fenomena luar (citra bunyi) dan fenomena dalam (rekaman pikiran). Watson (1878-1958), menyamakan antara perilaku berbahasa
dengan perilaku lainnya seperti makan, berjalan, dll. Perilaku bahasa menurut
Watson adalah hubungan stimulus-respons (S-R) yang menyamakan perilaku
kata-kata dengan benda-benda. Dengan demikian, pakar psikologi berkebangsaan
Amerika ini menganut aliran psikologi behaviorisme. Weiss, mengakui adanya aspek mental dalam bahasa.
Hanya saja, karena wujud bahasa tidak tampil secara fisik maka sukar dikaji dan
diwujudkan kecuali jika bahasa berada pada konteks sosialnya. Weiss banyak
berjasa bagi perkembangan awal psikolinguistik, beberapa masalah yang berhasil
dipecahkan Weiss secara psikologi-bahasa menurut alirannya, behaviorisme adalah
:
a. bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak
terbatas terhadap suatu stimulus.
b. pada dasarnya, perilaku bahasa menyatukan anggota suatu
masyarakat ke dalam organisasi gerak syaraf.
c. perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan
meragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons.
e. respons bahasa sebagai suatu stimulus pengganti untuk benda
dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculkan kembali suatu
hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian-bagian.
4. Kerja sama Psikologi dan
Linguistik
Kerja sama kedua disiplin ilmu ini pertama kali berlangsung
pada tahun 1860. Pada saat itu, Heyman Steinthal seorang ahli psikologi yang
beralih menjadi linguis dan Moritz Lazarus ahli linguistik yang beralih menjadi
ahli psikologi menerbitkan jurnal “Zeitschrift fur Volkerpsychologie und
5
Sparch Wissenschaft” (Jurnal Psikologi sosial dan Linguistik).
Menurut Steinthal, ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup tanpa ilmu linguitik.
Pada tahun 1901, Albert Thumb (ahlilinguistik) dan Karl Marbe (ahli psikologi)
menerbitkan buku berjudul Experimentelle
Untersuchungen iiber die PsychologishenGrundallen der Sparchichen
Analogiebieldung. Kedua
pakar tadi menggunakan kaidah-kaidah psikologi eksperimental untuk meneliti
hipotesis-hipotesis linguistik yang menghasilkan pengaruh sangat kuat akan
lahirnya psikolinguistik. Sebuah lembaga sosial Amerika bernama Social Science Research Council menyelenggarakan sebuah seminar tahun 1951
mempertemukan para pakar linguistik, psikologi, patologi, ahli-ahli teori
informasi, dan pembelajaran bahasa. Mereka merumuskan hubungan kerjasama antara
psikologi dan linguistik. Kemudian pada tahun 1953, Osgood (linguis), Sebeok
(linguis), dan Caroll (ahli psikologi) bertemu dalam seminar di Universitas
Indiana Amerika Serikat. Pertemuan ini menghasilkan buku Pscholinguistics : A Survey of
Theory and Research Problems.
Buku ini kemudian disunting oleh Osgoods dan Sebeok. Inilah buku
psikolinguistik pertama yang menggunakan istilah psikolinguistik. Sebelumnya
Albert Thumb dan Karl Marbe tidak memakai nama itu. Tahun 1946, N.H. Pronko
dalam artikelnya yang berjudul “Language and Psycholinguistics : A Review”
dimuat dalam jurnal Psychological
Bulletin. Pronko mengaku
istilah psikolinguistiknya diperoleh dari gurunya Jacob Robert Kantor dalam
buku An Objective Psycology of Grammar( 1936). Dasar-dasar ilmu psikologi
menurut Osgoods dan Sebeok adalah :
a. Psikolinguistik adalah suatu teori linguistik berdasarkan
bahasa yang dianggap sistem elemen yang saling berhubungan erat.
b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut
behaviorisme) yang berdasar pada bahasa yang dianggap sebagai sistem tabiat.
c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap
bahasa sebagai alat untuk menyampaikan suatu benda.
6
5. Psikolinguistik sebagai Disiplin
Mandiri
Dibukanya program khusus psikolinguistik pada tahun 1953 oleh
R. Brown meruapakn tanda formal ilmu ini adalah disiplin mandiri. Sarjana
pertama disiplin ilmu ini adalah Eric Lenneberg. Pakar lain yang kemudian
muncul adalah Leshley, Osgoods, Skinner, Chomsky, dan Miller yang kesemuanya
sangat berjasa bagi perkembangan psikolinguistik. Pada tahun 1957 Skinner
menerbitkan buku Verbal
Behaviour. Pada tahun yang sama
Chomsky mengeluarkan buku Syntactic
Structure. Kemudian Leshley
berpendapat bahwa lahirnya suatu ucapan bukanlah pertalian serentetan respeons
tetapi merupakan kejadian serempak, dan secara tidak langsung struktur
sintaksis ucapan itu dihubungkan dengan bentuk urutannya. George Miller dalam
artikelnya yang berjudul “The Psycolinguistics” (1965) menjelaskan bahwa
lahirnya ilmu psikinguistik karena kontribusi ilmu psikologi yang mengakui
bahwa akal manusia menerima lambang-lambang linguistik, sedangkan linguistik
mengakui bahwa diperlukan psiko-motor-sosial untuk menggerakkan tata bahasa.
Miller pun memperkenalkan teori generatif transformasi Chomsky yang menganggap
bahwa bahasa merupakan kemampuan manusia yang sangat rumit. Oileh karena itu,
tugas peikolinguiatik adalah meneliti kemampuan yang rumit itu dengan
terperinci. Miller pun menegaskan bahwa bahasa bukan hanya mempermasalahkan
arti tetapi bagaimana kekmampuan manusia dalam mengatur syaraf-sayaraf atau
kalimat-kalimat baru yang sangat berguna.
Jika disimpulkan, pada awalnya, psikolinguistik beraliran
behaviorisme. Namun, berdasarkan perkembangannya yang bersifat mentalis dan
mencoba menjelaskan hakikat rumus yang dihipotesiskan, maka kajian
psikolinguistik pun semakin berkembang pada arah kognitif. Lahirnya tata bahasa
generatif oleh Chomsky merupakan inovasi tersendiri di bisang
7
ini. Oleh karena itu, Chomsky disebut sebagai “Bapak Linguistik
Modern” sedangkan Wilhem Wundt disebut sebagai “Bapak Psikolinguistik Klasik”.
6. Tiga Generasi Psikolinguistik
Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang
Mehler dan Noizet untuk menulis artikel “Vers une Modelle Psycholinguistique du
Locuter” (1974) yang dimuat di Textes Pour une Psycholinguistique. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa ada
tiga generasi perkembangan psikolinguistik. 6.1 Psikolinguistik Generasi
Pertama Psikolinguistik generasi pertama ini ditandai oelh penulisan artikel
“Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems” yang disunting
oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh
psikolinguistik generasi pertama. Titik pandang Osgoods dan Sebeok dipengaruhi
aliran behaviorisme. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama
memiliki tida kelemahan :
a. adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa
yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan manusiawi
melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
b. psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas
ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan
bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan
kemampuan untuk melakukan generalisasi.
c. bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku
berbahasa individu-individu yang terisolasi dari amsyarakat dan komunikasi
nyata.
8
Tokoh lain psikolinguistik generasi pertama ini adalah
Bloomfoeld dan Skinner.
6.2 Psikolinguistik Generasi Kedua
Teori-teori generasi pertama ditolak oleh beberapa tokoh seperi
Noam Chomsky dan George Miller. Menurut Mehler dan Noizet, psikologi generasi
kedua telah menagatasi ciri-ciri atomistik psikolinguistik. Psikologi generasi
ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang
diperoleh, melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Di sini, orientasi psikologis
digantikan oleh orientasi linguistik. Penggabungan antara Miller dan Chomsky
meruapakan penggabungan model-model linguistik tatabahasa Chomsky yang relatif
berbeda dengan proses-proses psikologi. Malah Mehler dan Noizet mengatakan
bahwa psilinguistik generasi kedua anti-psikologi. Tokoh fase ini lebih
mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan
Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik generasi kedua ini
dalam artikel “Some Preliminaries to Psycholinguistics” :
a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya
jelas dan terang, dan tidak semua ciri-ciri yang etrang dalam ujaran mempunyai
representasi fisik.
b. makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang
ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut antar
hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang. Respons yang terpenggal-penggal
terlalu menyederhanakan manka secara keseluruhan.
c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan-satuan
interaksi anatara makna kata yang terdapay dalam kalimat tersebut.
Kalimat-kalimat itu tersusun secara hierarkis, tetapi belum cukup menjelaskan
wujud luar linguistik.
9
d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat diejawantahkan
tidak terbatas jumlahnya. Pengetahuan seseorang akan bahasa harus dikaitkan
dengan kemampuan seseorang menyusun bahasa dalam sisitem sintaksis dan
semantik.
e. Harus dibedakan antara pendeksripsian bahasa denga
pendeskripsian pemakaian bahasa. Seorang ahli psikolinguistik harus merumuskan
model-model pengejawantahan bahasa yang dapat meliputi pengetahuan kaidah
bahasa.
f. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan
berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung apada intelegensi dan
besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.
6.3 Psikolinguistik Gegerasi Ketiga
Psikolinguistik generasi kedua menyatakan bahwa analisis mereka
mengakui bahasa telah melampaui batas kalimat. Namun, pada kenyataannya,
analisis mereka baru sampai pada tahap kalimat saja, belum pada wacana.
Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui
oleh psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New
Psycholinguistics memberi
karakteristik baru ilmu ini sebagai “psikolinguistik baru”. Beberapa ciri
psiklonguistik generasi ketiga ini adalah :
a. Orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi
perilaku. Seperti yang diungkapkan Fresse dan Al Vallon (Prancis) dan psikolog
Uni Soviet, telah terjadi proses serempak dari informasi psikologi dan
linguistik.
b. Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat”,
dan lebih mengarah pada “psikolnguistik situasi dan konteks”.
c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak
ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran.
10
Sebetulnya, psikolinguistik di Rusia lebih dahulu berkembang
dari pada di negara-negara Barat. Hal ini terjadi karena sejak awal
psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan perilaku komunikasi dan
perpikiran dalam analisis psikolinguistik. Selain itu, psikolinguistik di Rusia
dikenal dengan istilah “Teori Aktivitas Ujaran” yang mendasarkan dirinya pada
postulat bahwa perilaku manusia bersifat aktif, porpusif, dan inovatif.
Postulat ini di negara batar belum tercapai.
11
DAFTAR PUSTAKA Dardjowidjojo,
Sunjono. 2003. Psiko-Linguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta
: Yayasan Obor. Djumransjah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang : Bayumedia Publishing. Mar’at,
Samsuniwiyati. 2005. Psikolingusitik
Suatu Pengantar. Bandung
: Refika Aditama.
Langganan:
Postingan (Atom)